Saya terus teringat kejadian 19 tahun yang lalu. Seseorang mengetuk pintu rumah kami menjelang subuh. Mengabarkan ada saudara satu perumahan yang sama tapi lain blok hari itu mengalami sakaratul maut. Tidak ada laki-laki di situ. Â Maka salah seorang warga berinisiatif memanggil saya. Â
Di tengah rasa kantuk yang  berat, saya datang.
Bu Arif, memegang tangan ayahnya sambil komat kamit membaca doa.
Saya masuk ke kamar  ayah bu Arif,  terlihat mulutnya membusa,  beberapa kali diseka busa tetap keluar.
Saya mendekati telinga ayah Bu Arif..
...
Lalu nafasnya terhenti. Ayah bu Arif berpulang dalam keadaan tenang.
Pagi hari saya kembali datang menguruskan segala keperluan. Memandikan mengkafankan,  dan mensholatkan. Bahkana menguruskan pemakaman dan mencarikan ambulance  gratis. Sampai selesai semua acara pemakaman.
Menurut kabar yang  saya dengar suami bu Arif saat itu masih tugas belajar S3 di luar negeri. Makanya saat pemakaman bapak mertuanya, ia tidak tampak.
Bu Arif tidak bisa ikut suaminya karena pekerjaannya sebagai guru tak bisa ditinggalkan.
Mengenai Riani, Â saya hanya mampu mengingatnya sebagai gadis kecil usia 8 tahun. Bu Arif sering mengkuncir rambutnya dengan hiasan pita berwarna merah. Â
Kesukaannya pada gula-gula membuat gigi Riani menghitam dan banyak yang ompong.
Saat masih berjualan keliling, Â saya memang sering berhenti di depan rumah bu Arif. Sebab depan rumah bu Arif adalah lapangan tempat anak-anak berkumpul.