Orang-orang mengenal Kota Bandungan Kabupaten Semarang, mungkin hanya sebatas sebagai tempat wisata. Penuh hotel dan rumah karaoke, dan menjadi kota esek-esek sejak puluhan tahun.
Tapi tahukah anda bahwa keberagaman Masayarakat Bandungan yang hidup dalan berbagai agama patut dijadikan "role model" bagi semangat toleransi yang sedang digalakkan di Indonesia.
Banyak keluarga heterogen, hidup dalam kultur dan budaya multi agama. Kalau hidup dalam masyarakat Bandungan anda akan bisa melihat satu keluarga yang agamanya berbeda-beda. Tentunya termasuk keluarga saya.
Secara umum kelurahan Bandungan terbagi menjadi beberapa dusun
Bandungan, Gamasan, Pendem, junggul, Gintungan, dan Pitoyo.
Kita akan membahas kultur sosial budaya khusus yang ada di Bandungan saja.
Secara umum warga Bandungan bekerja sebagai buruh dan pedagang. Beberapa persen  bekerja sebagai pegawai Negeri Sipil, sopir, dan para pekerja hotel.
Kebhinekaan akan muncul saat warga Bandungan melakukan kerja bakti Merti desa. Semua orang dari seluruh tingkatan strata sosial guyup rukun bersih-bersih desa dan dilanjutkan dengan nyadran, membawa makanan ke makam, mengirim doa kepada para leluhur, dan menikmati makan bersama. Dan biasanya disambung oleh atraksi kesenian reog dari grup Kridha Santosa atau pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk .
Yang paling menonjol nilai toleransi akan muncul saat ada orang yang meninggal, seluruh warga akan mengantarkan jenasah siapapun warga Bandungan yang meninggal di situ. Lalu disambung dengan doa selama tujuh malam yang dihadiri oleh seluruh warga.
Bila yang meninggal adalah orang Islam, maka tokoh pemuka agama Islam akan memimpin acara. Pembacaan Yasin, tahlil, dan doa. Sementara yang non muslim pun ikut duduk menyimak acara doa sampai selesai .