Kemudian mereka memutuskan diri untuk berhijrah ke Jakarta. Bergabung bersama teman-teman seniman di TIM (Taman Ismail Marzuki) sekedar mengais rejeki dengan bakat melukis dan bakat seni yang mereka miliki.
Di tengah kehidupan yang sulit. Tuhan kembali menitipkan amanah anak yang kedua di usia anak pertama yang masih berusia 3 tahun.
Tak pelak keadaan ini membuat pasangan Totok-Wiwik harus berpikir dua kali agar setelah kelahiran bayi yang kedua ini tak terjadi kehamilan lagi.
Akhirnya setelah bayi yang kedua lahir, Bu Wiwik memutuskan untuk ikut program Keluarga Berencana. Lewat pinjaman uang dari seorang teman yang juga seorang seniman di Jakarta, pemasangan IUD pun bisa terlaksana dengan sukses.
Kehidupan mereka di tengah persaingan Jakarta nyaris tak membuahkan hasil apapun. Bahkan saat IUD yang tertanam di rahim Bu Wiwik telah melewati masa kedaluwarsa selama 5 tahun, keluarga pak Totok belum juga memiliki uang yang cukup untuk menggantinya.
"Boro-boro ngurusin IUD pak, buat makan saja saat itu sangat susah", kata Pak Totok memelas. Lalu Pak Totok berencana pindah ke Semarang. Menyusul kakaknya yang telah lebih dulu tinggal di kota ini.
Untuk menyambung hidup, pak Totok berjualan siput hias, yang ia gelar setiap hari di area simpang lima. Sampai kemudian kedua sarjana ini mendapatkan pekerjaan sebagai guru di salah satu sekolah yang ada di perumahan kami sampai hari ini.
Kehidupan mereka sudah sudah semakin baik. Bahkan saat ini keluarga pak Totok sudah memiliki sebuah mobil keluaran terbaru dari hasil pekerjaannya membuat dekorasi. Saya juga terkadang membantunya kalau sedang ada pesanan.
Semua berjalan begitu saja, sampai Bu Wiwik merasakan ada yang aneh di dalam rahimnya. Dan berakhir di Rumah sakit hari ini.
Tak terasa IUD yang terpasang di rahim Bu Wiwik sudah kedaluwarsa. Mereka bahkan tak menyadarinya karena terlalu asik dengan kehidupannya.
Padahal bentuk tubuh Bu Wiwik sudah membengkak bahkan hampir 2X lipat dari dari berat tubuh saat mereka memulai kehidupan bersama.