Mbah Soleh, perempuan sepuh itu  terlihat ramah melayani pelanggan. Kerut-kerut kerentaan sudah mulai menguasai wajahnya. Terkadang dengan gemetar Mbah Soleh menyerahkan kopi atau teh ke tangan pelanggan. Tak jarang kopi tumpah sebelum sampai ke tangan pelanggan.
Iya .. Mbah Soleh, orang-orang menyebutnya begitu. Entah siapa nama aslinya saya juga tidak tahu.
Sebelum suaminya meninggal beberapa tahun yang lalu, ia berjualan bersama suaminya. Biasanya suaminya hanya menunggu dan sesekali membantu mencuci gelas atau piring. Terkadang pula membantu menjelang air, tapi  sering lupa mematikan kompornya.
Di warung berupa gubug kecil pinggir lapangan itu mereka menyambung hidup. Berjualan nasi bungkus, gorengan, serta minuman panas dan dingin. Teh, kopi, jeruk dan sebagainya.
Dulu sekali waktu saya masih jualan keliling, sering mampir ke warung ini. Sekedar menikmati segelas kopi sambil bercerita tentang kehidupan.
Diusia makin lanjut, beban hidup yang dihadapi  justru semakin berat.
Semenjak suaminya meninggal Mbah Soleh putri  hidup sendiri. Anak tunggalnya telah meninggalkannya  karena salah faham yang tak pernah ketemu jawabannya.
Kejadian 11 tahun yang lalu menyisakan luka yang teramat dalam. Bahkan sampai sekarang anaknya tak pernah menyambanginya. Walaupun tinggal hanya satu kota.
Bermula dari anak tunggalnya, sebut saja namanya Eko (bukan nama sebenarnya), berkeinginan menikah dengan gadis pilihannya. Lalu orang tua saling berunding menetapkan hari pernikahan.
Sebagaimana biasa, ijab kabul dilaksanakan di rumah mempelai putri. Dilanjutkan dengan resepsi lumayan mewah. Tamu undangan ratusan yang datang . Solo orgen dengan 3 orang biduan cantik ikut memeriahkan acara.
Mbah Soleh pun ngunduh mantu dengan acara sederhana, dengan mengundang tetangga kiri kanan dan para kerabat.