Menikahkan anak adalah kewajiban orang tua. Terlebih memiliki anak perempuan.
Menikah adalah legalitas formal yang harus dibuat oleh warga Indonesia yang kemudian mencatatkan pernikahannya di lembaga pernikahan semisal KUA dan Kantor Catatan Sipil.
Dengan ikatan pernikahan, seseorang menjadi jelas statusnya dan terdaftar dalam buku induk kependudukan sebagai sebuah keluarga baru.
Perubahan status lajang menjadi beristri/bersuami tertulis dalam Kartu Keluarga yang baru, dan data orang sudah menikah akan terhapus otomatis dari KK keluarga induk.
Bagi saya menikahkan anak itu bukan saja menghantar mereka mengarungi kehidupan berumah tangga. Tapi lebih dari itu menikahkan anak adalah sebuah prestasi diri, mengumumkan pada dunia bahwa kita adalah orang tua yang bertanggung jawab.
Saya memiliki seorang putri yang telah Akil baligh dan sudah bekerja. Dalam perjalanannya bertemu dengan lelaki yang mengutarakan maksudnya untuk mempersuntingnya.
Kedatangan rombongan calon besan yang telah direncanakan sebelumnya membuat saya harus bersiap. Awal kedatangan rombongan besan ini pada mulanya hanya ingin meminang putri saya untuk ikatan pertunangan saja.
Tapi saya bersikeras bahwa pertunangan itu bukan akad yang mengikat. Bisa saja dalam perjalanan keduanya mengalami hambatan, lalu terjadi chaos, maka bubarlah hubungan pertunangan dengan menyisakan kerugian terutama bagi pihak perempuan.
Mengingat saat seseorang sudah bertunangan, dia mengira bahwa itu adalah hubungan resmi, sudah sah, dan layak melakukan apapun. Bahkan orang yang sudah bertunangan tak jarang sudah tinggal satu rumah, satu kamar dengan pasangannya.
Saya miris membayangkan hal semacam ini. Karena keluarga saya tidak mengenal hubungan bebas sebagaimana tradisi orang barat yang kini sangat masif diadopsi oleh warga Indonesia.
Akhir dari rembugan keluarga ini akhirnya diputuskan bahwa calon pengantin akan dinikahkan pada tanggal 10 maret 2019, di rumah kami.