[caption id="attachment_151907" align="alignleft" width="300" caption="Masjid Ramdhan, Salah satu dari empat masjid di Yekaterinburg."][/caption] Terlahir di Indonesia, di tengah keluarga yang agamis, kemudian mengenyam pendidikan di sekolah agama, hidup di pesantren dan di lingkungan yang mayoritas penduduknya beragama islam ternyata bisa mengurangi “manisnya” iman dan islam. Mengapa saya bisa mengatakan seperti itu ? meskipun tidak mutllak, namun dengan premis-premis diatas, maka hidup sebagai seorang muslim akan terasa sangat mudah. Seseorang jika terbiasa dengan sesuatu yang mudah saja, maka tidak akan tahu bagaimana nikmatnya sesuatu itu. Seperti ungkapan kuno, seseorang akan tahu nikmat sehat setelah ia merasakan sakit. Sebagai contoh, di Indonesia, seorang Muslim, bisa melaksanakan sholat kapan saja dan dimana saja. Di pasar, sekolah, rumah sakit, terminal bahkan di jalanan pun orang bisa sholat. Suara adzan akan dikumandangkan di setiap waktu. Dari sini, banyak orang kemudian sering menggampangkan sholat, “nanti saja sholatnya,” suatu ungkapan ringan. Untuk urusan makan, setiap muslim bisa masuk kemana saja karena (bisa dipastikan) 99% rumah makan di Indonesia tidak menyediakan babi dll (kecuali daerah yang mayoritas non muslim.) Paling tidak, sembelihan seorang muslim sudah dianggap halal menurut salah satu pendapat ulama. Meskipun demikian, sebagai muslim kita harus lebih menjaga sikap wira’i (kehati-hatian) kita. [caption id="attachment_151906" align="alignleft" width="300" caption="Sosis berlabel halal dari Kemuftian Russia"][/caption] Menjadi Muslim di Russia Tidak mudah untuk menjadi minoritas. Dalam hal ini, kecakapan kita dalam berinteraksi sangat dibutuhkan. Sebagai seorang muslim, selain interaksi social, tentu saja kita mempunyai kewajiban untuk tetap menjaga interaksi vertical kita. Dan tetap berlaku sesuai dengan kode etik seorang muslim. Ketika di Indonesia, menjadi seorang muslim seolah tanpa ada rintangan dan hambatan. Namun, di Russia, untuk menjaga identitas sebagai muslim “lahir batin” begitu banyak kendala. Suatu contoh,di kota dimana saya tinggal sekarang – Yekaterinburg, Kota yang terdapat di perbatasan Asia – Eropa ini hanya memiliki 4 masjid (Masjid Ar-rahman, Ramadhan, Maulid dan Nur Ustman). Itu pun ada satu masjid yang hanya dibuka pada hari jum’at saja. Otomastis kerinduan akan sholat jama’ah terasa besar sekali. Keadaan sangat berbeda dengan di Indonesia, Kita bisa melihat ketika jam istirahat makan siang, orang-orang ramai istirahat di emperan masjid setelah melaksanakan sholat. Nikmatnya pemandangan seperti itu baru bisa saya rasakan sesudah berada di Russia. Situasi paling susah adalah jika posisi kita sebagai mahasiswa. Tentunya kita ingin sholat yang normal dengan syarat dan rukunnya. Namun, di universitas tidak terdapat Musholla. Kita selalu sholat dalam keadaan terdesak. Ngumpet, duduk, isyarat dll. Selain itu, belum adanya sistem pendidikan yang mengenal waktu sholat. Kerinduan akan sholat yang normal sangat saya rasakan di sini. Untuk urusan makanan, semua restoran di Russia bisa dipastikan menyediakan daging babi. Bagi para muslim sangat tidak dianjurkan untuk masuk ke restoran-restoran umum. Bagi yang ingin mendapatkan daging atau masakan halal, di Yekaterinburg, mereka bisa mendapatkannya di pasar traditional Tagansky Ryad. Disana terdapat kios daging dan rumah makan halal. para penjualnya adalah para migran yang berasal dari Uzbekistan dan Tajikistan. Alasan di Tagansky terdapat makanan halal, karena mayoritas pekerja di pasar ini adalah muslim. Selain di Tagansky, seorang muslim bisa mendapatkan daging halal masjid-masjid. Di Russia, Masjid-Masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat sholat, namun juga berfungsi sebagai kios penjualan daging dan makanan yang mendapat sertifikat halal dari kemuftian Russia, buku-buku agama, jilbab dan atribut keagamaan lainnya. Saya pernah menanyakan kepada seorang Hazrat (ustadz) mengenai daging ayam yang dijual di swalayan-swalayan yang ada. sang ustadz tadi menjawab “ayam itu mati bukan dengan cara disembelih, tapi diestrum, jika kita memakannya, sama juga kita memakan bangkai.” Ketika menjadi muslim di komunitas non muslim, kita merasa tertantang, akankah kita bisa menjadi ikan di tengah lautan? Selain itu, kita juga bisa merasakan nikmatnya menjadi muslim, ketika hati kita tetap berkata, alhamdulillah, saya Muslim. (mzn)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H