Suatu hari ketika semua pergerakan teman-teman persingkongan terkonsentrasi pada keadaan terpuruknya harga singkong oleh berbagai sebab, terjadilah kesepakatan untuk berjuang habis-habisan mewujudkan cita-cita tepung desa melalui pembuatan tepung mocaf. Saat itu harapan kami bergantung pada perusahaan-perusahaan produsen tepung mocaf besar, dimana kami bisa berafiliasi menjadi cluster-cluster pembuatan chip mocaf untuk disetorkan pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Berbagai cara dilakukan banyak teman-teman untuk membina petani dan diri sendiri agar mampu membuat chip mocaf yang sesuai dengan permintaan perusahaan-perusahaan produsen. Kami semua begitu bersemangat, sebab dengan harga singkong segar yang waktu itu laku antara 500-600 rupiah netto, chip mocaf kami diterima dengan harga dikisaran 3.900 hingga 4.200. Ada nilai tambah yang bisa kami terima dan kami berikan pada petani-petani dibawah kami. Beberapa diantara kami bahkan mengerahkan segala kemampuan modal untuk membuat chip mocaf secara besar-besaran, sebab mereka harus segera menghentikan "tangisan" petani yang semuanya mengeluhkan harga jual singkong yang semakin hari semakin menurun.
Semangat memang harus dibangun dan harus terus terbangun, hanya saja karena pengalaman tehnis yang masih asal-asalan, tangisan sedih mulai lagi terdengar, dan kali ini bukan saja karena harga singkong yang tak kunjung membaik, kali ini ditambah chip mocaf buatan teman-teman banyak yang ditolak produsen tepung mocaf karena kualitas dianggap tidak memenuhi standar yang diinginkan. \
Celakanya, yang namanya chip mocaf itu kalau tertolak maka dianggap sebagai chip gaplek biasa, sehingga harga pun mengikuti harga gaplek chip biasa yang waktu itu cuma seharga kurang dari separo harga chip mocaf, padahal sudah bisa dipastikan biaya-biaya untuk pembuatan chip mocaf lebih tinggi dari pembuatan chip gaplek, belum lama proses yang mengharuskan fermentasi selama 12 jam ditambah proses penggaraman 12 jam, baru bisa dijemur. Bisa dibayangkan, betapa terpukulnya teman-teman yang boleh dikatakan nekad produksi besar-besaran demi menyelamatkan diri sendiri dan petani-petani lainnya.
Saya termasuk beruntung, karena saya bukan type pemberani, yang akan mengorbankan seratus persen permodalan untuk pekerjaan yang belum benar-benar saya kuasai. Hahahaha..... aslinya sih memang karena modal pas pasan. Saya tidak memproduksi sendiri chip mocaf, tapi "memaksa" petaninya untuk belajar membuat chip mocaf. Saya sediakan perlengkapan kerjanya, saya fasilitasi sarananya, saya bantu biaya operasional, karena saya hanya mensyaratkan pada mereka untuk memanfaatkan singkongnya sendiri. Ada empat atau lima petani di wilayah yang berbeda yang saya perlakukan seperti itu, dengan harapan dimasing-masing wilayah nanti akan tumbuh sendiri dan menyebar ke petani-petani lain.Â
Dalam perjalanan saya "membina" tersebut, saya melihat betapa beberapa teman saya jatuh bergelimpangan akibat penolakan-penolakan dari produsen tepung mocaf akibat kualitas dianggap tidak standar, akhirnya saya putuskan chip mocaf buatan betani-petani saya, saya simpan sembari terus mencari alternatif jika nantinya harus menjual chip dan ditolak. Melihat keadaan tersebut saya bertekad untuk TIDAK MENJUAL chipmocaf buatan saya dan petani saya kepada perusahaan produsen tepung.Â
Chip mocaf saya giling, karena gilingan sederhana maka hasilnya pun kurang bagus. Yang halus saya buat kerupuk dengan meminta bantuan teman pengrajin kerupuk di Sidoarjo. Meskipun hasil kerupuk lebih bagus dari kerupuk sejenis berbahan tepung tapioka dan tepung terigu, tepung mocaf saya belum bisa diterima pasar pengrajin karena berbagai sebab. Tinggal hasil gilingan yang kasar, saya mulai kebingungan hingga akhirnya ada seorang keluarga petani yang mencoba memanfaatkannya untuk pembuatan thiwul mocaf.Â
Tidak serta merta berhasil, perlu beberapa kali uji coba dan beberapa macam resep untuk dapat menghasilkan thiwul mocaf yang layak jual. Sementara uji coba pembuatan thiwul, tepung mocaf yang sudah terlanjur digiling, daripada rusak, saya bagi-bagikan pada teman-teman secara gratis agar makin banyak orang mengenal rasa tepung mocaf yang sesungguhnya setara dengan tepung terigu.
Pergerakan-pergerakan tidak sengaja tersebut akhirnya menghasilkan beberapa hal yang cukup mengejutkan, pertama makin banyak petani-petani singkong yang mengerti tentang tepung mocaf. Kedua, makin banyak petani yang mampu membuat sendiri tepung mocaf meskipun dalam skala kecil. Ketiga, petani pembuat tepung mocaf mulai tidak tergantung untuk menjual chip mocafya karena mereka bisa giling sendiri dan menjualnya kepada tetangga atau ke pasar tradisional dengan harga yang cukup menguntungkan dibanding dengan menjual singkongnya dalam bentuk segar. Keempat, petani mulai usil dengan tepung buatannya, ada yang mencoba membuat kue basah dan bolu seperti layaknya menggunakan tepung terigu, ada pula yang hanya digunakan untuk gorengan biasa. Secara psikologis, setidaknya beberapa petani sudah mulai tidak ragu dan kuatir jika harga singkong terus menerus tidak membaik.
Akhirnya, dengan mengucap Bismillahirahmanirahiim, saya memberanikan diri untuk mengenalkan produk akhir singkong setelah dijadikan tepung mocaf menjadi makanan yang dikenal sebagai Thiwul, dan kami gunakan tanda pengenal Thiwul Gemesh.
Jadi, Thiwul Gemesh pada dasarnya diproduksi sendiri oleh petani berkolaborasi dengan pengrajin thiwul dan menyerahkan tanggung jawab pasarnya pada saya. Perkumpulan ini pun saya beri nama agar jika Allah SWT mengijinkan dan meridhoi kami untuk berkembang, konsumen akan tau siapa produsen sebenarnya, dan saya menamakannya Komunitas Mocaf Sekar Mangun Jenawi, dan sementara berpusat di kota Ponorogo Jawa Timur.