Mohon tunggu...
Agung Triatmoko
Agung Triatmoko Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sekedar menuliskan sesuatu

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Singkong "Melawan" MEA

3 Januari 2016   13:18 Diperbarui: 3 Januari 2016   21:00 1895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock | Admin"][/caption]Kita punya Bogasari, Sungai Budi, Cargil, Tiga Pilar, dan ribuan (mungkin) pemain tepung lainnya berbasis singkong. Produk tepungnya cuma 3 (tiga) macam, yaitu tepung tapioka, tepung gaplek dan tepung mocaf. Namun dari ke tiga macam produk tepung itu ratusan produk turunan dihasilkan, dengan demikian betapa besar peranan singkong bagi nilai perekonomian kita, dan itu belum termasuk produk turunan singkong non tepung, seperti keripik, singkong rebus, singkong keju, tape/peuyeum dan sebagainya. Coba sejenak kita bayangkan, betapa besar kontribusi produk olahan singkong bagi kebutuhan hidup manusia (rakyat Indonesia).

Kita juga punya cukup banyak ahli budidaya singkong, yang bisa meningkatkan produktivitas singkong berkali-kali lipat, tanpa harus menambah lahan. Artinya, produktivitas yang sebelumnya per hektar cuma bisa 10 - 15 ton singkong segar, oleh tangan-tangan dingin para ahli bisa mencapai 40 - 60 ton per hektarnya. Hebat bukan?

Kita masih punya petani singkong yang super tangguh, yang dengan segala resikonya berani memanfaatkan lahan-lahan kosong yang sulit dijangkau untuk ditanami. Petani-petani yang tidak pernah bisa memohon petunjuk pada mbah gugel, namun masih bisa menghidupi keluarga, lingkungan dan alam yang dianugerahkan Tuhan pada kita. Inilah hebatnya Indonesia.

Kita bahkan punya ahli-ahli rekayasa mesin yang mampu menciptakan mesin-mesin produksi ringan dan murah, yang bisa ditempatkan di sentra-sentra penanaman singkong. Kalau soal mesin rekayasa, jangankan mesin produksi singkong, mesin apapun kita banyak punya jago rekayasa dan modifikasi.

Penting juga dijadikan pertimbangan, kita punya MSI (Masyarakat Singkong Indonesia) dan banyak organisasi sejenis yang konon bertujuan menjadi jembatan antara petani singkong dan industri pengolahan sekaligus menjadi duta bagi kampanya ketahanan pangan Indonesia. Wkwkwkwkwkkkkkkkkkkk........maaf, kalau yang ini saya masih meragukan.

Terakhir, kita punya Pak Jokowi, yang tidak pelit membagikan traktor, benih dan macam-macam kebutuhan petani singkong (semoga).

-----

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, kekuatan sudah kita punya, lantas kenapa tata niaga singkong masih amburadul?.

Kenapa harga singkong masih tergolong mahal untuk mencapai harga komoditas produk turunan yang langsung menyentuh kebutuhan pangan rakyat?.

Kenapa masih sangat banyak petani dengan produktivitas maksimal 15 ton, padahal untuk peningkatannya hanya buituh 200-300 perak per batang?

Kenapa para ahli budidaya singkong lebih suka menangani proyek 100-300 hektar, ketimbang jutaan hektar tanaman milik petani langsung?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun