Mohon tunggu...
Agung Triatmoko
Agung Triatmoko Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sekedar menuliskan sesuatu

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menjaga Singkong atau Hutan?

9 April 2015   14:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14285662511902850349

Sore, ketika saya berkunjung ke kediaman Pak Samin, beliau baru saja pulang dari kota untuk menjual kayu bakar. "Saya butuh buat bayar anak sekolah pak, ini tadi saya balik empat kali". "Mau balik ambil lagi pak?", tanya saya. "sudah cukup untuk hari ini, monggo silahkan masuk", jawab Pak Samin sambil mempersilahkan saya masuk.

Pak Samin sebetulnya adalah petani yang menanam singkongnya di areal hutan sebagai pesanggem. Beliau menanam kurang lebih satu hektar, dengan perkiraan jumlah batang singkongnya sebanyak limaribu batang, kalau panennya bagus setidaknya Pak Samin bisa mendapatkan tujuh sampai delapan ton singkong basah. Kalau pas harga singkong bagus bisa laku sampai 5-6 jt.an, itu kalau harga bagus. "Tapi kalau panen raya, mana ada harga bagus ya pak?", keluh beliau. Pendapatan 6 jt.an itu ia dapatkan setelah menunggu 10-12 bulan masa panen singkong, dan tentu itu bukan pendapatan bersih, sebab ada biaya yang harus dikeluarkan ketika saat tanam.

Selain menjadi petani singkong, Pak Samin juga menggeluti profesi sebagai tukang pijat panggilan. "Lumayan pak, bisa buat tambahan beli gula". Tapi ada profesi tambahan lagi yang membuat saya harus berkenalan dan dekat dengan beliau, yaitu ahli taksir singkong. Pak Samin punya keahlian memprediksi jumlah singkong yang dihasilkan dalam satu luasan, dan konon hasilnya jarang sekali berselisih banyak.

Sore itu saya diajak untuk melihat lahan yang ditanaminya, sembari menunjukkan kepada saya luasan lahan singkong yang menurutnya lebih dari 300 hektar ditanam oleh penduduk. Sepanjang mata memandang memang yang nampak adalah hamparan pohon singkong dengan sedikit nampak pohon jati kecil di beberapa titik.

"Kalau pohon jatinya besar, njenengan tanam apa pak?", tanyaku. "Ya.....jangan sampai besar pak, nanti kami bagaimana? keluarga kami mau makan apa?".

Ooooh.....rupanya mencegah tumbuh besarnya pohon jati yang mestinya dirawat oleh pesanggem adalah suatu upaya agar mereka tetap bisa menanam singkong selamanya. Selama ini, ketika pohon jati sudah setinggi layak untuk dijadikan kayu bakar, mereka potong lagi, kayu di jual, dan lahan aman untuk tetap ditanami singkong.

"Kalau sampai dibiarkan tumbuh 3-4 tahun, daun jati sudah menutupi sinar matahari pak, singkong tidak bagus tumbuhnya".

"Belum lagi nanti kalau sudah rimbun, kami mau nanam apa?, keluarga kami mau makan apa?", lanjutnya.

Sore sudah hendak tinggalkan singgasananya ketika kami tiba kembali dirumah Pak Samin. Kopi dan rokok akhirnya membawa kami untuk mengobrol lebih banyak tentang singkong dan penduduk.

-------

Cukup banyak warga penduduk sekitar hutan di situ yang memiliki profesi sambilan khusus mencari kayu bakar. Per ikat kayu bakar laku dijual Rp. 30.000,-, kalau mereka bisa 4-5 kali pulang balik hutan ke pasar, ya lumayan juga pendapatan mereka, meskipun masih teramat kecil dibanding gagalnya reboasasi hutan oleh pihak perhutani. Perhutani sendiri bukannya membiarkan hal itu berlangsung terus, namun apa daya mereka ketika dihadapkan pada kebutuhan perut penduduk, sementara belum ada solusi yang jitu untuk mencegah itu semua. Memperlakukan para pencari kayu bakar dengan hukum, hanya akan menimbulkan perselisihan yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun