[caption caption="koleksi pribadi"][/caption]Dalam tulisan-tulisan terdahulu saya sempat menyinggung tepung desa. Di situ saya menggambarkan bahwa singkong, di mana pun berada, dalam jalur distribusinya tidak bisa lepas dari desa dan masyarakatnya. Ketika kita menarik garis produksi industri berbahan baku singkong terutama tepung, hampir semuanya membutuhkan proses awal yang sesungguhnya bisa dilakukan oleh desa dan masyarakatnya.
Saya sempat mengusulkan agar pabrikan-pabrikan besar mengurangi kapasitas penerimaan singkong segar agar ada kesempatan proses awal dilakukan di desa di sentra-sentra penanaman singkong. Selain memberikan efek kesempatan kerja juga sudah barang tentu dapat menambah penghasilan secara signifikan. Sebagai contoh, untuk produksi tepung tapioka, mengingat teknologi pengeringan dan penggilingan cukup mahal, industri besar bisa menerima pasokan dari desa berupa tepung grosok basah. Tepung mocaf juga memberikan peluang yang sama, desa bisa mengerjakan proses awalnya seperti pengupasan, perajangan hingga berbentuk cip (mirip keripik singkong) setelah melalui perendaman dengan menggunakan enzim tepung mocaf.
Tiga Pilar, salah satu produsen tepung mocaf sudah melakukannya dengan membentuk cluster-cluster meskipun dirasa belum maksimal cukuplah untuk tahapan memulai. Beberapa perusahaan tapioka besar juga sudah mulai menerima tepung grosok basah dengan harga yang cukup menguntungkan. Sepertinya, melihat gerak ekspansinya, Sungai Budi yang berpusat di Lampung dan saat ini mulai melebarkan sayapnya ke Jawa (Jawa Timur), mudah-mudahan bersedia untuk mengambil opsi menerima barang setengah jadi dari proses di desa.
Beberapa perusahaan besar lainnya mungkin masih sibuk dengan tepung impor, tidak salah memang, toh pemerintah cukup membuka peluang impor tepung dengan harga cukup murah dan cukup bisa mematikan industri tepung rumahan.
Lantas, bagaimana nasib kartel singkong, baik yang mengandalkan modal maupun yang mengandalkan jaringan? Dalam pengamatan saya, kartel yang dalam bahasa gaulnya sering disebut raja kecil, sepertinya makin mengukuhkan dirinya, cuma kalau kemarin-kemarin konsentrasinya pada bahan baku singkong segar, saat ini terbagi perhatiannya dengan "membina" produsen-produsen tepung rumahan. Dalam mekanisme tersebut, masih sulit industri rumahan menjadi mitra total pabrikan besar, selalu ada pihak yang konon menjadi cukong di antara keduanya.
Pekerjaan pentingnya saat ini adalah bagaimana mengefektifkan sekaligus menyederhanakan jalur distribusi dari industri rumahan menuju industri besar. Bagaimana industri besar benar-benar jadi bapak angkat industri rumahan. Dan yang paling penting adalah membangun industri tepung desa yang sesungguhnya, yang dibangun melalui semangat gotong-royong petani dan mendapat support yang memadai dari industri besar maupun pemerintah.
Jangan sampai si tengkulak yang tadinya berkacak pinggang di lahan, pindah duduk manis di balik meja dan kedok kemitraan untuk tetap menempatkan petani singkong dalam posisi, cukup tanam saja. Semoga dengan adanya undang-undang tentang desa yang menempatkan Badan Usaha Milik Desa sebagai pilar ekonomi pedesaan, bisa termanfaatkan dengan maksimal.Â
:moko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H