"Seorang akademis itu harus wani metu, wani tombok lho Mas!", begitu pesan yang saya peroleh saat ngobrol dengan seorang teman, yang saat ini menjabat sebagai salah satu petinggi di kampusnya.
Wani Metu
Ya! Wani metu berarti harus siap mbolang, berani berpetualang dan mencari pengalaman di luar kampus. Jangan suka main dalam kandang sendiri atau ibarat pepatah seperti katak dalam tempurung. Jangan hanya bisa hanya bermain di dalam kampusnya, di kandangnya sendiri. Baik itu melakukan pengajaran, penelitian maupun pengabdian di kampusnya sendiri. Bahkan ngobyek pun di kampusnya sendiri.
Seketika, teman saya lainnya (yang kebetulan baru pulang dari studi lanjut dari negeri seberang) ikut meramaikan suasana perbincangan kami bertiga. Tanpa tedeng aling-aling dan tentu saja dengan suasana guyon, ia mengatakan bahwa seseorang yang hanya berani bermain di kandangnya sendiri tak ubahnya dengan onani.
Wani Tombok
Selain itu, harus wani tombok. Apabila ingin membangun jaringan atau relasi tidak boleh tidak, ia harus wani tombok. Tombok tidak harus berupa uang, bisa berupa waktu maupun tenaga pikiran.
Disaat teman membutuhkan waktu yang kita miliki, kita siap memberikannya. Begitu pula saat tenaga maupun pikiran kita dibutuhkan, kita siap tanpa harus mengenal pamrih. Karena, pada saatnya nanti, kita membutuhkan bantuan mereka. Dan mereka pun akan melakukan hal yang sama untuk kita dengan senang hati.
Misalnya saja, saat kita membutuhkan bantuan dari Sang Gubernur ataupun Rektor dari kampus lain untuk pelaksanaan kegiatan di tingkat propinsi.
Kalau kita sudah terbiasa wani metu dan wani tombok dengan Sang Gubernur atau Rektor dari kampus lain, maka, kita pun cukup tinggal menelpon untuk meminta bantuannya. Sedangkan persyaratan teknis maupun administratif sambil berjalan setelahnya. Lebih cepat, dibanding mengajukan persyaratan teknis dan administratif terlebih dahulu, baru menunggu persetujuan dari Sang Gubernur.
Kalau masalah ini, saya ingat pertanyaan teman saya.