Membaca dan menyimak berita koran Banjarmasin Post, Sabtu, tanggal 21 Juli 2018 yang lalu, pada halaman 10, dengan judul " Satu Guru Maksimal Dampingi  5 ABK" , yang dalam isinya bahwa tahun ini, pemerintah sudah mengatur mengenai sekolah inklusi di mana sekolah tersebut wajib menerima siswa berkebutuhan khusus. Ternyata di Banjarmasin tak semua sekolah inklusi. Untuk sekolah menengah pertama (SMP) hanya ada lima sekolah yang menjadi rujukan inklusi. Yakni SMPN 8,10,14,23,dan 35. Sedangkan untuk sekolah dasar (SD),dari 308 Sd, hanya 30 sekolah yang menjadi rujukan inklusi.
Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang tidak diskriminatif, dan dalam setting pendidikan inklusi anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, termasuk  ABK. Dalam ranngka mewajudkan pendidikan inklusi tersebut ditetapkan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi. Lalu, apa yang dimaksud dengan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi? Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah sekolah-sekolah umum yang menerima dan memberikan layanan khusus kepada ABK, tanpa diskriminasi atau memberlakukannya berbeda dengan siswa pada umumnya.
Pada sekolah yang berbasis pendidikan inklusi,  ABK diberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya, mendapatkan kesempatan  belajar dan bersosialisasi dengan teman sebaya atau orang lain .Melalui pendidikan inklusif dapat mensukseskan pendidikan untuk semua atau dikenal dengan EFA ( Education For All) , yaitu pendidikan yang merata untuk semua lapisan masyarakat tanpa membedakan ,suku, ras agama maupun antar golongan.
Pendidikan adalah hak warga negaratanpa kecuali,  baik berupa pendidikan formal maupun non formal. Hal tersebut sesuai dengan konsep hak asasi manusia, bahwa ABK atau Anak Berkebutuhan Khusus,  merupakan anak bangsa juga yang berhak mendapatkan pendidikan atau bersekolah sebagaimana anak-anak bangsa yang lainnya. Dalam rangka menghargai dan melaksanakan hak  anak-anak bangsa yang memiliki kebutuhan khusus atau ABK tersebut perlu adanya pemahaman bahwa mereka tersebut juga berhak mendapatkan pendidikan di sekolah pada umumnya, yang dikenal dengan pendidikan inklusi
Siswa ABK, bukanlah mereka yang harus dihindari atau tidak dapat diterima di sekolah, karena kekurangan fisiknya, tetapi mereka harus dirangkul sebagaimana layaknya anak atau siswa yang normal. Pendidikan itu untuk semua atau education for all atau EFA. Melalui pendidikan inklusif, dapat mensukseskan pendidikan untuk semua atau dikenal dengan EFA ( Education For All) , yaitu pendidikan yang merata untuk semua lapisan masyarakat tanpa membedakan ,suku, ras agama maupun antar golongan.Pendidikan adalah hak warga negaratanpa kecuali, Â baik berupa pendidikan formal maupun non formal
Kemudian, terkait dengan kompetensi guru yang akan menjadi pendamping dan pembimbing selama menjadi siswa di sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi, maka perlu diberikan pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat melaksananakan tugasnya dengan baik. Guru merupakan ujung tombak dan memiliki peran penting yang menentukan berhasil atau tidaknya pembelajaran dan pendidikan di sekolah. Â Sekolah yang menjadi rujukan inklusi harus memiliki guru yang berkompeten dalam mendidik ABK, bukan sekedar hanya menyandang predikat sekolah rujukan inklusi semata.
Keberhasilan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, sangat didukung oleh seluruh komponen yang ada di sekolah tersebut, baik kepala sekolah, pendidik atau guru, siswa, penjaga sekolah hingga pengelola kantin. Komponen sekolah tersebut harus memiliki pemahaman yang sama,  bahwa ABK memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh  layanan pendidikan  seperti anak normal lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H