Awal tahun 2022 ini, publik Indonesia terkhusus mereka yang meminati dunia riset ilmu pengetahuan alam (IPA) dikejutkan dengan isu yang beredar dari Lembaga Eijkman mengenai sejumlah pegawai yang bekerja di sana diberhentikan setelah institusi tersebut  diintegrasikan dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).Â
Atensi publik makin hangat setelah 100-an ilmuwan ini tidak mendapatkan pesangon kecuali memilih untuk melanjutkan pekerjaan mereka melalui skema perekrutan yang tersedia, termasuk dengan mengikuti seleksi PNS bagi para peneliti yang berstatus sebagai tenaga honorer.
Akan tetapi, semakin banyak suara dari masyarakat yang bisa dibilang meratapi atau bersedih karena peristiwa ini. Lebih-lebih setelah akun Twitter Lembaga Eijkman mengumumkan mereka berpamitan kepada rakyat Indonesia setelah sebelumnya Tim Waspada COVID-19 Lembaga Eijkman (WASCOVE) undur diri selepas Tim WASCOVE diambil alih oleh BRIN.Â
Tim WASCOVE melaporkan bahwa para penelitinya telah melakukan riset pengembangan vaksin Merah Putih dan memeriksa lebih dari 95 ribu sampel COVID-19 dari 351 Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FASYANKES). Belum hal-hal positif lainnya.
Mengapa banyak masyarakat Indonesia merasakan kesedihan dan kehilangan setelah terjadinya hal-hal di atas? Mengapa Lembaga Eijkman jadi fokus perhatian?
Pertama, publik bersolidaritas dengan 100-an ilmuwan yang diberhentikan dari tempat mereka bekerja. Tapi kan nanti akan dapat pesangon? Betul, hanya saja ilmuwan-ilmuwan tersebut harus memilih dari opsi yang tersedia, tidak bisa otomatis mengabdi bagi negara berbekal kemampuan dan intelektualitas mereka.
Apapun alasan birokrasinya, tentu saja hal itu dirasa tidak adil bila mereka yang selama ini telah bekerja sedemikian lama dan menghasilkan karya ternyata harus memulai dari awal lagi dengan mengikuti seleksi PNS.Â
Mengapa seolah-olah menjadi PNS adalah satu-satunya cara untuk menjadi ilmuwan di Lembaga Eijkman? Apakah kerja keras mereka selama ini tidak dihargai? Gugatan ini memang bukan sekedar picisan karena selama ini publik sudah melihat betapa suramnya situasi pekerjaan jadi ilmuwan di Indonesia.
Dengan berkurangnya jumlah staf, produktivitas penelitian Lembaga Eijkman berisiko melorot, semakin jauh dari spirit Christiaan Eijkman yang melakukan penelitian hingga menerima Nobel Fisiologi dan Kedokteran pada tahun 1929. Maka, tidak salah mendambakan Lembaga Eijkman akan jadi inkubator ide agar kelak Indonesia dapat menyumbangkan satu penerima Nobel sebagai puncak kontribusi ilmiah dari Indonesia untuk dunia. Bukan sekedar mewarisi nama "Eijkman" saja.