Mohon tunggu...
Maslaeni Husain
Maslaeni Husain Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Saya salah seorang staf pengajar di SMK Negeri 1 Nunukan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menggugah Jiwa Patriotisme di Bumi Perbatasan

26 Agustus 2013   00:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:49 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebelum menceritakan kisah para murid kebanggaanku, ada baiknya menceritakan pengalaman ketika pertama kali datang ke sekolah. Dengan penuh semangat, karena telah menerima SK dan Nota Dinas penempatan di SD-SMP Satu Atap 01 Tanjung Harapan. Tempat Tanjung Harapan benar-benar menjadi harapan bagi semua pendaftar guru IPA dan Matematika waktu itu, karena merupakan satu-satunya sekolah yang lokasinya masih berada di pulau Nunukan dan masuk wilayah kecamatan Nunukan, dibandingkan dengan lokasi sekolah yang lain, yang hanya bisa ditempuh dengan menggunakan transportasi laut dan udara yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan ditemani saudara, saya ke sekolah dengan berkendara sepeda motor karena menurut informasi lokasi sekolah hanya bisa diakses dengan mengendarai sepeda motor jika cuaca hujan atau setelah hujan, yang kebetulan waktu itu memang habis hujan. Jalanan berlumpur dan sangat licin serta sesekali mendapat turunan dan tanjakan dilalui dengan sangat lambat tak jarang kami berhenti untuk membersihkan tanah liat yang menempel pada ban sepeda motor yang membuat pergerakannya lambat, dan alhamdulillah sampai juga meski sepatu dan celana penuh dengan lumpur tanah merah.

Setelah bertemu dengan kepala sekolah dan berbasa-basi dengan rekan guru ternyata hampir semuanya pernah mencium tanah air alias jatuh dari sepeda motornya. Butuh perjuangan dan semangat yang tidak tanggung-tanggung untuk mendidik, membimbing, dan memotivasi generasi penerus di Bumi Perbatasan agar mereka dapat mengenyam manisnya ilmu pengetahuan.

Melihat kondisi tersebut, saya bertanya pada diri sendiri sanggupkah saya memberikan yang terbaik buat murid-muridku dengan segala keterbatasan yang ada? Keterbatasan infrastruktur serta akses ke sekolah saya bisa atasi dengan memutuskan untuk tinggal di lingkungan sekolah dengan menyulap separuh ruangan perpustakaan menjadi kamar tidur karena memang tidak ada perumahan guru. Keterbatasan sarana dan prasarana menjadi aral yang sangat mengganggu, bagaimana caranya sekolah yang hanya tiga lokal dengan jumlah murid kurang dari 50 beroperasi dengan guru tetap 2 orang meski dibantu guru dari sekolah lain? Untuk mengurangi belanja pegawai dari dana BOS mau tidak mau saya harus mengajar TIK dan IPA selain mata pelajaran Matematika. Sebuah tanggung jawab yang sangat berat dan membutuhkan kesabaran. Bagaimana bisa saya mendidik dan membuat siswa paham dengan mengajarkan materi ajar yang sama sekali bukan basic saya? Tak jarang saya mengajar hanya menyampaikan apa yang tertulis di buku, sehingga waktu itu terkesan saya adalah guru penyampai isi buku, tanpa ada kebermaknaan di dalam pembelajaran. Sering timbul rasa berdosa dalam diri, bahkan saya menganggap saya mengajar hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban.

Ada kisah menarik bagi saya ketika menggantikan guru IPS yang berhalangan hadir waktu itu dan bertanya kepada murid, “pada tanggal berapa Republik Indonesia meraih kemerdekaan dari penjajahan?”, salah seorang murid yang bernama Amir langsung menjawab dengan logat Melayu “tanggal 31 ogos cik gu (ogos maksudnya Agustus, Cik gu = Guru). Saya tersentak, astagfirullah Al Adzim itu kan tanggal kemerdekaan negara Malaysia? Kembali saya bertanya kepada murid tersebut “dapat informasi darimana, Amir?”. Jawabnya “semalam saya nonton di TV3 cik gu”. Kembali saya beristigfar, inilah kondisi anak didik kita, tunas bangsa generasi penerus kita di bumi perbatasan selama ini dicekoki dengan tayangan dan siaran-siaran TV dari negara tetangga. Bagaimana tidak, siaran TVRI saja tidak bisa tayang jika tidak menggunakan antena parabola, sementara siaran TV negara tetangga menggunakan antena dari tutup panci saja bisa tayang bahkan lebih dari satu saluran tv. Tidak bisa dipungkiri satu-satunya sumber informasi di daerah pedalaman seperti ini hanyalah TV dan radio, bahkan siaran radio juga dari negara tetangga yang senantiasa jadi konsumsi murid-murid, disamping itu jaringan telepon seluler juga kalah kuat, sering kena roaming. Beginilah kondisi daerah perbatasan, kondisi yang sangat membutuhkan uluran tangan pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Jangan salahkan mereka jika lebih memahami negara lain dibanding negara sendiri, lebih mencintai negara tetangga daripada negara sendiri, dikarenakan negara tetangga lebih terkesan memahami mereka dibandingkan negara sendiri.

Maslaeni L, S.Pd, Angkatan 2 Nomor Urut 98

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun