Muktamar NU yang ke-33 di Jombang Jawa Timur menimbulkan kekecewaaan di kalangan muktamirin maupun rakyat Indonesia.
Bahkan cucu pendiri NU Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) pun menyatakan kekecewaaannya.
Gus Solah melihat Muktamar NU yang berada di "ibu kota' NU justru memunculkan permainan politik uang dan kekacauan. Baca di sini.
Persoalan yang memunculkan kecauan itu munculnya sistem "Ahlul Halli wal Aqdi/AHWA" (musyawarah untuk mufakat) dalam pemilihan Rais Aam PBNU.
Padahal dalam AD/ART PBNU, pemilihan Rosi Am itu bukan berdasarkan Ahwa tapi pemilihan suara. Tentunya ini telah menyalahi AD/ART undang-undang di PBNU.
Anehnya lagi, kuatnya pengaruh PKB dalam muktamar NU ini sangat terlihat di mana sangat banyak spanduk PKB di arena Muktamar NU.
Memang harus diakui, Cak Imin mempunyai banyak jasa terhadap PBNU terutama dalam penggalangan dana. Untuk peserta muktamirin saja, atas jasa Cak Imin bisa naik Lion Air secara cuma-cuma, tentunya ini atas jasa cak Imin.
Cak Imin ingin menjaga hubungan baik PKB sebagai anak kandung NU dalam membawa NU menjadi kuat dalam perpolitik bangsa dan negara.
Di sisi lain, kekacauan muktamar NU menimbulkan tanya tanya terlebih lagi rakya. Bagaimana mau mengurus rakyat, kalau mengurus warganya saja sangat kacau.
Terbukti, untuk mengurus registrasi peserta muktamar saja sangat kacau dan menimbulkan kekacauan. Berbeda dengan saudara tuanya Muhammadiyah yang lebih rajin dan rapi.
Mungkin ada benarnya, NU yang tradisional masih menggunakan manajemen ala kadarnya sedangkan Muhammadiyah sudah menggunakan manajemen modern dan rapi.