Mohon tunggu...
Maskur Abdullah
Maskur Abdullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Trainer

Jurnalis dan trainer, tinggal di Medan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kapan Bisa Diungkap Teror terhadap Jurnalis di Aceh?

24 September 2019   19:56 Diperbarui: 24 September 2019   19:58 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah milik wartawan Asnawi Luwi, di Desa Lawe Loning Aman, Kecamatan Lawe Sigala-gala, Aceh Tenggara, tampak hangus terbakar. (Foto/Ist/waspadaaceh.com)

Dalam bahasa Latin orang barbar disebut Barbarus, Belanda: Barbaar dan dalam bahasa Inggris disebut Barbarian (wikipedia). Istilah itu adalah sebutan untuk manusia yang digolongkan sebagai biadab atau primitif. Orang barbar bisa juga merupakan seorang warga yang dinilai kurang beradab, tapi dapat pula sebagai anggota kelompok tertentu, misalnya "gerombolan bandit."

Sekira dua bulan lalu, kelompok tertentu atau OTK (orang tak dikenal), telah melakukan teror terhadap kalangan pers di Aceh, khususnya di Aceh Tenggara. Tindakan orang-orang ini cukup pantas bila dikategorikan sebagai tindakan barbar.

Barbarus---Barbaar atau Barbarian, telah meneror dan membakar rumah seorang wartawan Harian Serambi Indonesia, yang diduga terkait dengan pemberitaannya yang kritis. Tak puas membakar rumah wartawan, kaum barbar ini melanjutkan terornya dengan membakar kantor organisasi wartawan tertua di Indonesia itu, yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), di Kutacane, Aceh Tenggara.

"Tindakan para peneror itu sudah di luar batas kemanusiaan, dan mengarah kepada tindakan barbar. Untuk itu kami minta Polda Aceh untuk membantu Polres Aceh Tenggara mengungkap kasus pembakaran kantor PWI dan pembakaran rumah wartawan Harian Serambi Indonesia," kata Aldin NL, sang Sekretaris PWI Aceh di Banda Aceh, Kamis (1/8/2019), sebagaimana dikutip dari Waspadaaceh.com.

Memang cukup pantas para pelaku teror ini disebut sebagai kaum 'barbar.' Apalagi ketika di zaman milenial dewasa ini, yang semestinya semua orang sudah memahami saluran hukum untuk mengungkapkan ketidakpuasannya kepada orang lain, tapi ternyata masih ada segelintir kaum yang menggunakan cara-cara primitif atau barbar. Dengan main hakim sendiri terhadap pekerja pers.

Pers yang disebut sebagai Pilar ke-4 Demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dalam menjalankan tugasnya dilindungi Undang-undang khusus, yaitu Undang-undang Nomor 40 tahun 1999. Ancaman terhadap kebebasan pers adalah ancaman juga terhadap kehidupan berdemokrasi.

Tentu tindakan barbar ini menjadi tantangan berat bagi para jurnalis, khususnya yang bertugas di daerah paling ujung Provinsi Aceh itu, untuk melanjutkan tugasnya, mengungkap semua "borok-borok" yang terjadi di Aceh Tenggara--bisa jadi justru melibatkan kalangan elite di sana.

Tantangan besar bagi Polres Aceh Tenggara dan Polda Aceh, untuk menangkap para pelakunya, sekali pun harus menyeret "pelaku utama" atau "otak pelaku" nya. Sebab banyak teori yang terungkap, orang barbar itu hanyalah "operator lapangan" atau "eksekutor," sedang otak pelakunya bisa jadi sedang ongkang-ongkang menikmati hasil kejahatannya.

Tapi sayangnya, hingga tulisan ini diposting, belum ada seorang pun dari pelaku yang berhasil diungkap aparat kepolisian. Bahkan ketika Kapolres Aceh Tenggara telah berganti dari AKBP Rahmad Har Deny Eko Putro, kepada Kapolres baru AKBP Wanito Eko Sulistyo, Senin (16/9/2019), kasus ini tampaknya masih "mengambang". (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun