Mohon tunggu...
Mas Kumambang
Mas Kumambang Mohon Tunggu... Freelancer - Wirausaha dan pemerhati yang tinggal di Depok, Jabar.

Berasal di kaki bukit di Jawa Tengah, kuliah di Jogjakarta dan sejak 1978 bekerja di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Pokoke" Menang, Rakyat Hanya "Harus" Menerima

8 Oktober 2020   11:40 Diperbarui: 8 Oktober 2020   11:54 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jaman dulu sering terdengar yel-yel, “Dlepoke wadhah kinang, pokoke… menang”. “Pokoke” itu kosakata bahasa Jawa. Yang dalam bahasa Indonesia, kira-kira, pokoknya harus…Apapun rintangannya, haruslah terjadi.

Kata itu mengandung kesan pemaksaan kehendak dan setiap hambatan harus dihadapi, dieliminasi dan kalau bisa dimusnahkan. Tidak ada komunikasi lagi karena pihak yang berkehendak akan memaksakan keinginannya dengan segala resikonya. Apalagi bila mereka yang berkehendak atas kondisi tertentu itu bisa berdalih, semuanya untuk rakyat, demi rakyat.

Agaknya kondisi itu yang kini terjadi. Sekalipun besar dan banyaknya elemen masyarakat yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, toh DPR tak peduli. RUU itu tetap disahkan, meskipun kesepakatannya lonjong, tidak bulat, karena ada dua fraksi yang menolak. RUU tetap disahkan meski ketua siding harus beradu mulut dengan anggota siding, yang bahkan harus dilecehkan karena mikrofon berkali-kali dimatikan oleh pimpinan.

Rakyat menonton betapa rendahnya kualitas pengambilan keputusan di DPR sekarang. Mereka tak peduli penolakan dari buruh, mahasiswa, bahkan tokoh-tokoh agama. Mereka seolah mengejar target pengesahan UU yang konon akan mendatangkan duit banyak. Kan dulu, waktu Presiden Joko Widodo hendak menyerahkan dokumen RUU tersebut, dikatakan bahwa begitu Omnibus Law selesai, uang akan mengalir masuk. Konon mencapai US$20 milyar.

Tapi mengapa suara penolakan juga datang dari kalangan investor global yang bahkan mengingatkan pemerintah bahwa UU tersebut berdampak negatif bagi masa depan ekonomi Indonesia? Banyak pihak mengkhawatirkan dampak negative UU tersebut, antara lain, akan terjadi eksploitasi hutan dan lahan-lahan produktif demi investasi asing.

Jadi penolakan atas UU tersebut bukan sekedar soal kepentingan dan hak-hak buruh yang dikurangi, melainkan ada resiko jangka panjang yang sangat besar. Bisa dimengerti bila terjadi penolakan dan unjukrasa dimana-mana. Aksi kali ini tidak hanya dilakukan buruh, melainkan juga ribuan mahasiswa. Di berbagai kota terjadi unjuk rasa, banyak yang ditangkap dan terluka.

Sejumlah tokoh lintas agama bahkan mengeluarkan petisi menolak UU tersebut, yang diunggah melalui laman change.org. Mereka yang sependapat dengan petisi tersebut dan membubuhkan tandatangan terus bertambah, dikabarkan sudah mendekati 1 juta orang. Tak biasanya, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj juga bersuara keras menentang UU tersebut.

Berbeda dengan sikap para penentangnya, Presiden Joko Widodo justru bersikap rileks saja. Ia sejak Rabu meninggalkan Jakarta, padahal para demostran berniat mengepung Istana Merdeka di Jakarta pada Kamis (8/10). Jokowi ke Solo terus menginap di Jogja dan akan melanjutkan perjalanan ke Kalimantan Tengah untuk meninjau proyek Food Estate.

Jokowi sendiri belum menandatangani UU tersebut. Namun UU yang sudah disetujui DPR akan berlaku sah dan mengikat setelah kurun waktu tertentu, meskipun tidak ditandatangani Presiden. Apakah Presiden Jokowi masih melihat perkembangan situasi? Bisa jadi begitu. Namun mengharapkan Jokowi akan berubah sikap, mencabut dan membatalkan UU tersebut melalui Perppu, sia-sia belaka.

Lihat saja sikap Jokowi menghadapi penolakan revisi UU KPK beberapa waktu lalu. Sikap Jokowi tidak akan berubah, apalagi Omnibus Law ini sangat didambakan karena bisa dijadikan landasan berbagai aturan turunannya.

Maka, pemogokan dan unjuk rasa akan dibiarkan menjadi tanggungjawab sepenuhnya aparat keamanan, khususnya polisi. Makin ngotot sikap pengunjukrasa, tambah keras pula sikap aparat menghadapinya, mereka menggunakan alat pemukul, water canon, gas air mata dan bahkan bila diperlukan mengeluarkan tembakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun