Oleh
Kukuh Aris Santoso
Mak lampir adalah tokoh mitos yang mempunyai sifat jahat yang sering di ceritakan oleh para orang tua dulu. Mak lampir ini dikabarkan bersemayam di gunung merapi, tentu ingat donk serial film “Misteri Gunung Merapi” bukan serial “ Tersanjung” ya. Jangan salah ingat ya hehehehe.
Mak Lampir ini bukan Mak Uwok juga, jangan sampai karena hampir mirip namanya serta sama sama ada serialnya di TV membuat kita tidak mengingat Mak Lampir tapi justru mengingat Mak Uwok. Pada dasarnya memang dua tokoh emak emak tersebut adalah artis pada jaman dahulu sehingga banyak yang keliru antara Mak Lampir dan Mak Uwok hehehehe.
Dalam dunia digital saat ini, yang sangat berkembang pesat dapat menjadi hal yang sangat jahat seperti layaknya Mak Lampir dalam beberapa serialnya di televise nasional, yang membuat gempar dunia persilatan dengan membuat para manusia menjadi jahat dan saling bertarung antara satu dengan lainnya. Seorang Mak Lampir dapat mengadu - adu masyarakat itu sendiri dengan sihir jahatnya.
Mak lampir seperti digitalisasi industri saat ini secara langsung membuat sebuat persaingan antara masyarakat yang pro online dan pro konvensional. Banyak kasus yang mengisahkan pertarungan tersebut seperti kasus ojek online versus ojek pangkalan, taksi uber versus taksi non –uber, media online versus media cetak, belanja online versus belanja di pasar, istri online versus… eeehhh maaf kelebihan hehehehe.
Masih teringat beberapa hari yang lalu, meledaklah gesekan yang di sebabkan persaingan antara online dengan non online. Kasus demo anarkis para supir taksi blue bird dan ekspress yang sudah sangat digdaya di Republik ini menjadi puncak dari gesekan gesekan yang terjadi di jalan sebelumnya. Sepertinya kata kata mutiara dan motivasi para supir angkutan yaitu “bersaing di jalan, bersatu di pangkalan“ menjadi kesadaran arti sebuah solidaritas terhadap keyakinan masing masing kelompok. Maka gesekan gesekan kecil tadinya meletup menjadi sebuah gerakan demontrasi anarkis yang terjadi pada selasa 23 maret 2016 yang silam.
Kejadian demo anarkis tersebut memunculkan pertanyaan, siapakah yang salah?. Para analis tingkat RT sampai tingkat nasional pun ramai ramai membincangkan mengenai kejadian ini, dengan memakai data data atau sekedar gosip atau isu isu yang beredar di dunia nyata maupun dunia maya, mencari siapakah yang bersalah?.
Para pembela group konvesional berpegang pada aturan tentang perundang undangan transportasi yang intinya “plat harus kuning”. Di kubu transportasi online mengatakan hal ini bukan sekedar aturan saja tapi kemudahan serta kenyamanan untuk masyarakat, sehingga layak di perjuangkan karena pemerintah ada untuk memberikan pelayanan, kenyamanan serta keamanan untuk rakyat, masalah aturan tinggal di buatkan lebih lanjut.
Pemerintah bersikap hati hati memutuskannya, karena pemerintah sempat mendukung transportasi online ini, tetapi pemerintah dilain pihak belum menyiapkan aturan yang tepat untuk bisnis model online ini. Sikap pemerintah menjadi terkesan hati hati sekali serta sedikit lambat karena apabila berat sebelah akan membuat ketegangan atau malah ledakan demontrasi semakin meluas dan dapat berakibat mala petaka buat bangsa.
Hal ini dikarenakan masalah yang di sentuh sangat mendasar yaitu permasalahan perut masing masing kubu alias penghasilan seseorang. Konsultasi pemerintah kepada kepada tenaga ahli pun menjadi sebuah keharusan karena urusannya bukan sekedar hukum akan tetapi mencakup aspek teknologi yang menjadi tolak ukur kemajuan atau modernisasi sebuah bangsa, jangan sampai ada sebutan kepada bangsa Indonesia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menolak kemajuan teknologi dan modernisasi.