Alkisah hiduplah sepasang suami istri Amaludin dan Alia hidup di tengah hutan pedalaman yang jauh dari jangkauan orang, hanya ditemani sekawanan bekantan hutan. Dahulu sebelum tinggal di hutan, Amaluddin adalah seorang RT di sebuah kampung yang terletak di tepi hutan. Sebenarnya dia RT yang baik tapi semenjak dia diteror oleh Wepe kehidupan Amaludian berubah, Wepe merasa sakit hati karena selalu kalah dalam pemilihan ketua RT. Wepe berusaha menjatuhkan Amaludin dengan cara yang kejam, memprovokasi warga untuk membenci RT.
Hasutan Wepe berhasil, RT Amaludin dibenci warga akibatnya semua pasokan sandang dan pangan tidak ada yang sampai ke tangan RT. Termasuk air untuk kebutuhan mandi sehari-hari pun juga diembargo warga. Berbulan-bulan RT tidak mandi yang menyebabkan badannya bau minta ampun, saking baunya tiap berpapasan dengan orang, orang itu pasti menjauh. Jangankan orang, embek pun tidak sudi deket-deket dengan dia. Akhirnya Amaludin dipecat sebagai RT dan diusir dari kampung, semakin lengkaplah penderitaan RT.
Dengan langkah gontai dan badan bau Amaludin berjalan meninggalkan kampung, siang malam melangkah tak tentu arah. Pada suatu hari ketika langkahnya tertuju pada sebuah sungai, dia melihat seorang gadis cantik yang sedang mencuci di pinggir kali. Tiba-tiba gadis itu berteriak minta tolong, “Toloooong.... tolong...!!’ Amaludian berlari mendekat ingin tahu ada apa gerangan yang membuat gadis itu minta tolong.
“Eh... ada apa dik..?” tanya Amaludin.
“Anuu... anu.. pembalut saya hanyut terbawa air sungai.” Jawab gadis yang ternyata bernama Alia. Tanpa menunggu komando lagi, Amaludin langsung terjun ke sungai sekalian mandi dan mengambil pembalut gadis itu.
Setelah itu... kisahnya seperti cerita-cerita yang sudah ada sebelumnya, akhirnya mereka berkenalan terus jalan bareng menuju ke hutan. Sesampai di hutan mereka membangun rumah dan menikah walaupun dengan penghulu seekor bekantan di hutan, dan hidup bahagia.
Kembali ke cerita awal, sudah lebih dari satu tahun mereka tinggal di hutan. Tak lama kemudian Alia mengandung dan usia kandungannya sudah 10 bulan tapi belum juga ada tanda-tanda kelahiran. Malam itu Amaludian tidur di luar kamar, tiba-tiba dia mendengar suara aneh seperti orang melenguh, ketika masuk kamar ternyata istrinya sedang mengaduh anak yang ada di dalam kandungannya sebentar lagi minta keluar.
Amaludin bingung, dia tidak tau menahu tentang proses kelahiran seorang anak manusia, dia hanya pernah sekali membantu kelahiran embek yang ada di kampungnya. Akhirnya dia memutuskan untuk membawa istrinya ke dukun beranak, dia kemudian menggendong Alia naik turun bukit menuju kampung terdekat untuk mencari dukun beranak. Di tengah jalan yang gelap tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan putih melayang di depan, Amaludin sejenak berhenti. Dengan perasaan agak takut dia mendekat, bayangan putih itu semakin menjauh dan akhirnya berhenti di sebuah pohon. Amaludin nekat, memberanikan diri terus berjalan sambil menggendong istrinya, mendekati bayangan putih. Setelah dekat dia memberanikan diri untuk melihat sejenak apakah gerangan benda putih itu? Wah ternyata pembalut bekas istrinya yang dipasang seperti orang-orangan sawah untuk mengusir burung yang suka makan tanaman padinya.
Setelah berjalan jauh dari tengah hutan, Amaludin sampai juga di sebuah kampung. Kemudian dia mencari rumah dukun beranak, setelah sampai di depan rumah dia mengetuk pintu. Yang segera dibukakan oleh pemilik rumah, seorang yang bermuka murah dan berbaju merah mengerikan. Ehh... salah, ternyata itu bukan rumah dukun beranak tapi dukun cabul Herry. Tapi apa mau dikata, istrinya sudah tak tahan lagi untuk segera melahirkan. Alia dibawa ke kasur oleh Herry,terus berkata kepada Amaludin, “Kamu disini aja, saya kawatir nanti bayinya nggak jadi keluar setelah melihat muka bapaknya.”
Amaludin menurut, tak lama kemudian dia mendengar suara bayi menangis. Amaludin lega bukan main, dia memaksakan diri masuk ke kamar. Dia tidak melihat ada bayi di dalam kamar itu, hanya istrinya dan dukun cabul Herry yang lagi mempersiapkan alat-alat persalinan. Suara bayi itu terdengar lagi, Amaludin melihat dukun cabul herry berjalan menuju suatu kotak dan mengambil sesuatu.... ternyata suara bayi itu ringtone HP beri-beri milik dukun cabul Herry. “Sommpreettt.....!!” pikir amaludin kesel.
Amaludin keluar kamar, kali ini dengan muka kesel bukan karena HP dukun itu yang punya ringtone suara bayi tapi karena jelek dan bau. Selang beberapa menit kembali terdengar suara bayi lagi, Amaludin diam tak perduli itu paling suara HP dukun cabul Herry, pikir dia. Suara bayi itu semakin keras, Amaludin tetap pada tempat duduknya, sampai sebuah bentakan dari dalam kamar, “Wooiii bau.... kamu mau liat anakmu nggak sih??” istrinya memanggil.