Keluarga saya dan istri, termasuk tidak fanatik dengan perayaan ulang tahun. Dan itu akan dibiasakan kepada anak kami. Juga pada 19 November 2011, lalu, kami tidak merayakan ultah anak pertama, Rausyan Fikr, seperti ultahnya anak-anak di kota. Ada pesta di restaurant, tiup lilin berbentuk angka, dan potong kue tart. Tidak ada pula, topi warna-warni dan lagu selamat ulang tahun.
Di hari itu, justru sengaja kami mengajak jalan-jalan Rausyan ke ladang. Beberapa hari sebelumnya, saya sengaja membeli beberapa bibit pohon untuk ditanam di ladang. Ada bibit pohon albasiyah, kamper, pete, mangga, dll. Sengaja, kami menyimpan beberapa bibit agar jangan dahulu ditanam. Biar nanti saya, istri dan Rausyan yang menanamnya.
Kami sungguh tidak tahu, 21 November adalah Hari Menanam Pohon Sedunia. Dan kami tidak sedang memperingatinya. Kami hanya sedang menanamkan kebiasan baru bagi anak kami, menanam pohon. Mumpung masih muda dan membutuhkan banyak pengalaman. Maka kami bawa ia ke ladang. Ternyata ia menyukainya, bermain tanah, berlari ke sana-ke mari, walau kerap terjatuh tapi ia bangkit dan berlari lagi. Ia sungguh ceria saat itu, dan kami yakin ia tidak tahu bahwa ia telah dua tahun berada di dunia ini. Dan ia tidak peduli dengan perayaan itu. Yang pasti ia tahu sedang berada di ladang dengan bibit yang baru ditanam.
Walau istri saya seorang guru Biologi, tetapi kami tidak memberikan pemaparan yang panjang tentang pentingnya menanam pohon kepada Rausyan. Bahwa pohon menyerap CO2, membuat teduh, memperkuat tanah, menahan erosi, dll. Selain guru biologi, istri saya pun seorang alumnus Madrasah, tetapi belum saatnya Kami menerangkan kepadanya ajaran agama, walau bila esok kiamat, tanamlah pohon hari ini. Saat itu yang kami lakukan, mengajak Rausyan berjalan ke ladang, mengambil bibit pohon yang belum ditanam, menggali lubang, menebar kompos,lalu menanam bibit itu dan menyiramnya dengan air. Kami pun mengucap syukur kepada Allah Swt, sudah diberi umur panjang,berkah rejeki dan kesehatan lahir dan batin. Cukup. Tiada tiup lilin dan potong kue.
Setelah itu, kami makan bersama di saung. Bersama kakek dan nenek Rausyan dan beberapa anak-anak yang sedang membaca buku di saung itu. Di saung itu memang kami sengaja menyimpan beberapa buku untuk dibaca anak-anak di Dusun Pangaduan Desa Calincing Kecamatan Sukahening Tasikmalaya. Selama ini, beberapa di antara mereka harus berjalan tiga kilometer ke tempat Perpustakaan Kampung Belajar di teras kontrakan kami. Agar lebih santai mereka membaca, kami berinisiatif menyimpan beberapa koleksi buku di saung itu. Ketika kami ke saung di hari minggu, atau kapan saja, saung itu kami buka dan buku siap dibaca.
Rausyan suka melihat binatang. Sejak beberapa bulan yang lalu dia telah mengenali beberapa binatang. Ayam, ikan, domba, anjing, cecak dan toke. Walau dia menyebutnya dengan bahasanya sendiri. Kerbau dia panggil kia. Karena petani berteriak kia ketika menghalau kerbau agar mau membajak sawah. Atau terkadang ia memanggil binatang itu sesuai dengan suara yang dikeluarkan sang binatang. Dia memanggil mba untuk domba. Lucu ketika ia saya gendong untuk melihat domba titipan dari LAZ Mujahidin Bandung yang telah beranak. Ia menangis sejadi-jadinya ketika mendekati kandang domba. Rupanya ia sangat ketakutan dengan suara domba yang membahana. Sengaja saya ajak lebih dekat, ternyata ia semakin keras menangis.
Tak ada yang istimewa dari ultah kedua anak pertama kami ini. Kami hanya berdoa semoga Rausyan Fikr, anak kami ini, bisa menjadi anak yang saleh dan bertakwa kepada Allah Swt, turut tumut akhlak kanjeng Nabi, dan bermanfaat bagi sesama manusia. Pohon yang ditanam saat itu, kelak menjadi bekal baginya. Doa dan bibit pohon ini, kado kami untukmu…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H