Mohon tunggu...
Kelik Nursetiyo Widiyanto
Kelik Nursetiyo Widiyanto Mohon Tunggu... -

Saya, Kelik Nursetiyo Widiyanto, alumni Jurnalistik IAIN Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pak Casmadi (Renungan Hari Guru)

26 November 2011   00:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:11 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Sebagai generasi muda, kita jangan berleha-leha. Pergunakan waktu sebaik-baiknya untuk belajar. Dengan belajar, kita bisa meraih ilmu sebanyak mungkin. Dengan ilmu itulah yang akan membimbing kita memimpin bangsa ini. Sebab, tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini kelak, berada di bahu kita semua. Anda-anda semua lah yang nanti menggantikan para pemimpin bangsa ini sekarang.” Tegasnya.

“Lihat.” Pekiknya seraya menunjuk ke atap tempat parkir di kiri tempat kami berdiri.

“Tantangan zaman semakin hebat. Godaan bagi generasi muda setiap hari semakin kuat. Gaya hidup hedonisme, pergaulan bebas, muda-mudi yang lebih senang berfoya-foya dibanding belajar, hingga kecanduan narkotika, meracuni pikiran pelajar sekarang.” Lanjutnya.

“Ingat!Para pendiri bangsa ini bersusah payah berjuang meraih kemerdekaan. Lalu, apakah elok, kita sebagai penerus mereka, mengkhianati kemerdekaan ini dengan menyia-nyiakan waktu? Padahal, mereka menitipkan bangsa ini menuju bangsa yang beradab. Bangsa yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa yang memiliki kebanggaan. Bangsa yang mengibarkan bendera merah putih di langit bangsa-bangsa lain. Bangsa yang gagah menyanyikan Indonesia Raya. Bukan bangsa lemah. Bukan bangsa bermental rendah. Kita bukan bangsa budak. Bukan bangsa romusha. Kita bangsa kuat.” Gelegarnya.

“ Banggalah dengan bangsa kita.” Pungkasnya.

“Merdeka….! merdeka…! merdeka…!” sahut seluruh peserta upacara senin pagi diiringi tepuk tangan meriah.

Apel senin pagi itu mirip pidato kembalinya Bung Karno dari pengungsian. Peserta apel terdiam, mendengar pidato dari Pembina upacara. Tak ada jahil-menjahili, berbisik-bisik, pura-pura pingsan atau terkantuk. Setiap kata yang diucapkannya jelas terdengar. Tak ada jeda. Setengah jam dia berpidato, serasa baru lima menit. Rangkaian kalimat tersusun dengan rapi. Kita seakan sedang membaca sebuah artikel di Koran. Terang antara pembukaan, isi dan penutup.

Dialah guru Bahasa Indonesia kami, Pak Casmadi. Semangatnya senantiasa menggelora. Bukan saja di podium apel senin pagi, tapi hingga di ruang kelas. Suaranya menggema tak kalah dengan Bung Karno. Mengajarkan Bahasa Indonesia dengan pribadi yang Indonesia sekali, seakan kami sedang belajar tentang Indonesia.

Walau hanya guru honor di Madrasah Aliyah Negeri 1 Bandung, tapi ia tidak pernah mengeluh. Bahkan, putra Tegal ini, aku yakini dari logat bicaranya, menyekolahkan adik-adiknya sendirian. Dari kisahnya di sela-sela belajar bahasa Indonesia, ia berasal dari keluarga tidak mampu di pesisir utara Jawa Tengah. Tetapi, dengan tekad kuat dan kesungguhan, ia berusaha meraih pendidikan setinggi mungkin. Bukan untuk dirinya sendiri, sebagai putra tertua di keluarganya, ia memikul tanggung jawab besar atas pendidikan adik-adiknya. Ia menyekolahkan adik-adiknya sebisa ia tanggung.

Di eranya, Pak Casmadi pun, salah seorang dari guru-guru berprestasi di madrasah kami. Ia pernah dinobatkan sebagai pemuda teladan. Menduduki jabatan di organisasi kepemudaan KNPI. Begitu cinta dan bangganya dengan KNPI, di luar sekolah, ia kerap mengenakan jas biru berlogo KNPI.

Pernah suatu kali, kami diajak Pak Casmadi belajar di luar ruang kelas. Metode belajar yang aneh. Selama ini, kami diwajibkan belajar di dalam kelas. Selama jam pelajaran, tidak diperbolehkan ke luar kelas. Tapi, Pak Casmadi justru mengajak kami ke halaman belakang sekolah.

“Materi hari ini ialah menulis dengan gaya deskripsi.” Ujarnya.

“Deskripsi ialah gaya menulis seperti melukis. Oleh karena itu, sekarang kalian menulislah seperti melukis. Lukislah apa yang kalian lihat di sini.” Tambahnya seraya menunjuk seluruh area halaman.

Kecuali aku, seluruh siswa kelas 1.3 kebingungan. Bagi yang pernah belajar di SMP atau MTs, gaya-gaya menulis telah dipelajari, termasuk deskripsi. Tentunya bukan hal yang aneh. Hanya, mungkin kawan-kawanku banyak tahu pengertian dari beragam gaya menulis, tetapi mereka tidak pernah menulis sebenarnya menulis. Sementara aku, selain kecanduan bermain sepak bola, hobi ku juga menulis. Sebab, itu yang aku bisa dan mampu.

Mulailah ku goreskan pena di atas lembaran putih. Awalnya, aku kebingungan mau menulis apa. Tetapi, lama kelamaan, setelah merenungi apa yang aku lihat, maka aku tuliskan.

Awan putih berarak di atas halaman belakang sekolahku. Meneduhkan siswa 1.3 yang sedang belajar menulis. Kami duduk bersila, bersandar pada dinding kelas. Dua lapangan volley tercetak persegi empat membelah hamparan hijau rumput. Tembok pembatas wilayah sekolah dengan dunia luar, mulai doyong. Konstruksi yang kurang bagus. Bila didorong lima orang kawan ku, runtuhlah ia.

Satu paragraph saja. Tapi cukup bagi Pak Casmadi menilaiku, berbakat. “Terus belajar dan berlatih.” Pesannya.

Descriptive skill memang sebuah metode belajar paling dasar bagi yang ingin menjadi penulis. Banyak sekali penulis yang tidak memiliki kemampuan cukup dalam mendeskripsikan sebuah peristiwa atau benda. Sehingga, banyak karya tulis kurang mendalam penggalian gagasannya.

Belajar deskripsi dengan Pak Casmadi tetap terekam dalam memori ku hingga sekarang. Selain karena metode belajar di luar kelas yang terhitung baru waktu itu, keterkesanan pada pribadi sang guru menyemangatiku untuk terus belajar. Setelah Empat Belas Tahun tak bersua, entah kemana beliau saat ini. Apakah masih jadi guru honor atau tidak, entah.

Pak Casmadi baru salah seorang guru yang mewarnai jalan hidupku. Ada banyak guru-guru yang telah menanamkan bekal hidup dan kehidupan. Mulai dari guru mengaji di waktu kecil, hingga orang-orang yang membinbimku dalam pekerjaanku saat ini. Terkadang, saya suka menganggap seseorang itu guru walau dia tidak mengajar saya ketika sekolah. Mungkin dia itu guru kehidupan. Tapi seperti pepatah, Pengalaman adalah guru yang terbaik...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun