Tak pelak lagi media memang menjadi ajang perang. Media yang tadinya dianggap sebagai kekkuatan ke-empat tak lagi menjalankan fungsinya sebagai kekuatan penyeimbang atau pendobrak kebuntuan, namun bahkan terlibat dalam perang, paling tidak perang ide, perang gagasan, bahkan dalam skala kecil perang dukungan. Untuk yang terakhir terkadang sampai ke taraf yang paling konyol, memuji yang didukung dan mencela yang tak dibela. Media tidak lagi mempunyai kekuatan mendorong terjadinya kulminasi penegakan kebenaran, yang sering dipagari kekuasaan. Kompasiana sebagai media sosial, tak luput dari serangan virus berbahaya itu. Untung masih ada Kompasioner cuek, yang memang keinginannya semata untuk berkreasi, bertukar ide, atau memang pengin sillaturahmi. Kompasioner jenis ini bahkan muncul bagai cendawan di musim hujan. Mudah-mudahan bukan karena efek makan siang.
Adalah suatu hal yang tak dapat dipungkiri, bahwa media sosial sudah menjadi konsumsi publik yang berjangkuan luas. Trending topic dapat menjadi indikator, bahwa suatu topik tertentu dapat menarik perhatian publik dari berbagai macam suku, agama, bangsa bahkan negara. Media sosial juga tak luput dari penyakit penampung segala tetek bengek kegiatan manusia. Dari kegiatan yang kontributif seperti menumbuhkan gagasan baru, sampai kegiatan yang distruktif, ibaratnya bersin atau terdorong kebelet pun dapat muncul di media. Apalagi ada media sosial yang memang mirip dengan dinding ratapan. Media itu langsung banyak diakses akun dari berbagai pelosok muka bumi.
Kompasiana memang beda dengan media versi dinding ratapan. Kompasiana walaupun mempunyai jargon sharing n connecting seperti halnya media sosial lainnya, namun Kompasiana memberikan pembelajaran bagi yang mempunyai akun untuk berbagi hal dalam topik-topik tertentu. Minimal bagi pemilik akun Kompasiana, maka untuk sharing sebuah artikel harus mencoba mengetahui di topic mana, si pemilik akun Kompasiana harus memilih. Memilih merupakan suatu kegiatan dari serangkaian panjang oleh pikir, olah rasa yang berakhir pada suatu keputusan. Kompasiana merupakan kumpulan hasil keputusan yang sisematis, terstruktur, dan masif, dengan demikian Kompasiana dapat terhindar dari kumpulan hasil kegiatan yang sekedar bersin atau mengusap air mata.
Adalah suatu hal yang terpuji menjadikan media sebagai kekuatan ke-empat, karena jika tiga kekuatan lain yang mencengkeram masyarakat dengan sangat kuat, bahkan bersinergi, maka kekuatan ke-empat dapat menjadi alternatif, bagi para pencari kebenaran. Kekuatan ke-empat dapat menjadi kekuatan yang menyuarakan suara Tuhan. Media sebagai kekuatan ke-empat mempunyai tugas terpuji dalam menjalankan fungsi ini. Namun seperti halnya fenomena lain di dunia, maka kekuatan nalar yang jauh dari tuntunan illahi dapat merasuki kekuatan ke-empat. Banyak fenomena yang seolah menjadi kebenaran dan harus diakui sebagai kebenaran bahkan kalau perlu dengan paksaan atau insiden untuk menunjukkan kebenaran, walaupun terkadang kebenaran yang diusung, kebenaran yang didorong, kebenaran yang dipaksakan terlepas dari tuntunan illahi. Mereka, para pengusung kebenaran yang sesungguhnya boleh dianggap kebenaran semu itu, sangat bangga, bahkan menjurus ke arah kesombongan, jikalau kebenaran semu yang mereka usung itu diakui, diamini, dilaksanakan oleh banyak orang. Tanpa sadar bahwa sesungguhnya kebenaran semu itu bukan saja berdampak buruk tetapi bahkan terkadang memang merupakan pelaksanaan kegiatan yang membuat kerusakan, pembunuhan, pembakaran atau bahkan sekedar memprovokasi.
Dalam situasi seperti itu media sebagai pembawa juru damai, bahkan lalu dapat kehilangan makna. Karena tanpa disadari media sudah menjadi ajang perang, bahkan oleh dapat saja terjadi di satu sisi mendorong perdamaian di sisi lain mendorong perang. Monopoli kebenaran terhadap suatu fenomena dapat muncul dari berbagai macam sudut, yang bahkan dapat menutupi fakta yang terjadi. Perdamaian menjadi suatu sisi yang diinginkan oleh semua pihak, sehingga bagi yang menolak perdamaian, akan menjadi barang langka, akan menjadi makhluk yang tercela. Namun kadang perdamaian yang diusung, bukan hanya untuk meredakan hati yang perih, bukan untuk menghapus duka yang menganga, namun untuk menbendung girah yang muncul, untuk memblok empati yang mencuat. Media merupakan salah satu areal untuk secara kontinu membasuh bibit-bibit girah yang muncul. Respon dari situasi kondisi yang sangat buruk terhadap fenomena yang terjadi, memunculkan media sosial alternative yang mencoba menyebarluaskan informasi yang seimbang. Informasi yang kemungkinan besar tidak muncul dari media mainstream. Kompasiana terkadang masih dapat berfungsi sebagai media alternative, walaupun terkadang bahkan menjadi media mainstream untuk kekuatan yang sebaliknya.
Namun di luar itu semua, terlepas dari terkadang Kompasiana juga terkena flu, kalau media memang menjadi ajang perang, namun Kompasiana masih menyisakan tempat sebagai ajang sillaturahmi, walaupun fungsinya agak berkurang pada Kompasiana Baru. Bagi Kompasioner ada kebebasan untuk membuat Kompasiana menjadi ajang perang atau menjadi ajang sillaturahmi, semua kembali kepada niat Kompasioner dan admin tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H