Mohon tunggu...
MJK Riau
MJK Riau Mohon Tunggu... Administrasi - Pangsiunan

Lahir di Jogja, Merantau di Riau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Duka Tolikara, Duka Kita

22 Juli 2015   20:23 Diperbarui: 22 Juli 2015   20:23 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masya Allah, tragedi yang menyerempet agama itu terjadi lagi. Saudara kita umat islam di Tolikara sedang menerima musibah, justru pada mereka dan kita merayakan kemenangan, merayakan hari raya Fitri, sebagai tanda rasa syukur yang mendalam, sebagai tanda rasa berserah diri yang utuh, sebagai tanda rasa lega setelah melalui ujian-ujian berat selama satu bulan penuh di bulan ramadhan atas nama makhluk beriman. Bagaimana mungkin hari yang seharusnya penuh kedamaian bagi seluruh umat manusia itu, hari yang tadinya masih diwarnai dengan kekhawatiran ketidakpastian tentang akan merayakannya secara bersamaan atau tidak dari dua pendekatan besar dalam melihat hilal, dalam penentuan hari raya Fitri, yang akhirnya mengerucut dengan penuh kelegaan karena perbedaan yang lebih sering terjadi itu, tidak muncul. Hari Raya Fitri, yang oleh Rasulullah pun mendapat perhatian terhadap kelonggaran-kelonggaran dibanding hari-hari lainnya. Biarkan saja, kita sedang berhari raya Fitri. Kalau ada yang lalu sedang bersuka ria, kalau ada yang lalu senang menari, kalau ada yang lalu suka memakai pakaian yang indah.

 

Musibah bagi sebagian orang dapat menjadi ujian, namun bagi sebagaian orang lagi bahkan bisa jadi merupakan hukuman. Bagi umat Islam di Tolikara, apakah musibah yang terjadi di hari raya Fitri tersebut merupakan ujian atau bahkan merupakan hukuman, hanya umat Islam di Tolikara yang mengetahui secara persis. Namun apapun itu musibah itu harus dapat diambil hikmahnya oleh baik umat Islam di Tolikara maupun umat Islam di mana pun berada di muka bumi ini. Bahwa musibah dapat datang kapan saja, musibah dapat datang pada saat kita bersuka cita, musibah dapat datang pada saat kita sehat, musibah dapat datang pada saat kita muda, musibah dapat datang pada saat kita kaya, musibah dapat datang pada saat kita luang, musibah dapat datang pada saat kita hidup. Musibah dapat datang pada saat kita bersuka cita karena kita mendapatkan suatu hal yang kita inginkan, namun di saat yang sama kita kehilangan sesuatu yang kita miliki. Meminjam istilah Mira S, shopisticated. Allah seolah mengatur itu semua untuk mengetahui bagaimana kita sebagai makhluk menyikapi musibah yang menimpa. Kalau kemudian ada yang emosional, itu adalah representasi dari girah, kecintaan terhadap sesuatu yang menyelimuti jiwa ketika kemudian merasa ada sesuatu yang menyentuh, menusuk, merobek, atau bahkan menghunjam hati nurani. Namun sikap emosional tersebut tidak boleh dilanjutkan dengan tindakan emosional. Tindakan tetap harus rasional di bawah tuntunan petunjuk Illahi Rabbi. Akan sangat mengehrankan kalau tidak ada sikap emosional terhadap sesuatu kondisi yang menyayat hati. Memang sudah tertutupkah mata, sudah tertutupkan telinga, sudah tertutupkah hati nurani ? Emosi muncul dari masih mata masih dapat melihat, telinga masih dapat mendengar, hati nurani masih dapat tersentuh. Namun begitu sudah menjadi tindakan maka rasio harus bekerja dengan tuntunan petunjuk yang diridhloi, emosi harus dijauhi.

 

Bagi sebagian orang bisa jadi suatu musibah dapat merupakan tanda sayang Allah kepada umatNya. Dari pada mendapat hukuman di kehidupan lain kelak, kalau kemudian musibah itu dapat menghilangkan hukuman, atau mengurangi hukuman yang akan diterima, justru akan menguntungkan bagi yang menerima musibah. Hal itu bukan suatu hal yang naif, karena memang bisa sebagai makhluk kita menghindar dari hukuman Allah ? Memang bisa kita berpendapat bahwa kita tidak wajar mendaoat hukuman dari Allah ? Memang bisa kita berpandangan bahwa kita tidak mempunyai dosa terhadap Allah ? Sudah begitu sempurnanyakah kita sebagai makhluk, sehingga kita sudah terbebas dari dosa ? Bulan Ramadhan yang baru saja berlalu adalah suatu model yang sistematis, terstruktur  dan masif dari Allah bagi umat beriman untuk melakukan ibadah mengikuti petunjuk Allah menjauhi laranganNya, melalui sikap, ucapan dan tindakan Rasulullah. Namun setelah semua itu kita lakukan, toh kemudian masih juga sebagian dari saudara kita mendapatkan musibah, sungguh suatu ujian yang sangat berat bukan saja bagi umat Islam di Tolikara, namun juga menjadi ujian yang sangat berat bagi umat Islam Indonesia, bahkan umat Islam di seluruh dunia. Bagaimana kita mengatasi musibah itu ? 

 

Sungguh duka Tolikara adalah duka kita. Kita perlu mengutuk keras tindakan amoral itu, kita perlu menuntut pihak yang berkompeten untuk menyelesaikan persoalan itu dengan tuntas, kita perlu secara kontinu mengawasi apakah persoalan itu ditangani secara serius, sungguh-sungguh dan menyakinkan ? Namun kita tidak boleh bertindak emosional. Kita tidak boleh bertindak sembarangan. Kita tidak boleh bertindak sendiri. Mudah mudahan duka Tolikara cepat terobati. Mudah-mudahan duka Tolikara menjadi perhatian berbagai pihak untuk dapat mawas diri. Mudah mudahan duka Tolikara dapat mendorong kita untuk mencari jalan bagaimana menjalani hidup kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Duka Tolikara adalah duka kita. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun