Dalam perjuangan saya menempuh karier sebagai PNS, saya pernah berusaha beberapa kali untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Alhamdulillah, walau pun saya masuk menjadi PNS, sudah berusia 34 tahun, namun dengan usaha yang kuat, bantuan teman-teman dekat dan tentu rejeki dari Allah Subhana wa Ta'ala, menjelang memasuki usia 40 tahun, saya mendapat beasiswa dari Pemda Riau untuk kuliah di MEP UGM. Bukan main bahagia tidak terkira.Â
Salah satu kenangan manis saya ketika di MEP adalah ketika mendapat tugas untuk membuat paper mengenai BCR. Pendekatan BCR ini jarang dilakukan pada usulan rencana pembangunan di daerah. Namun pendekatan BCR ini seharusnya dilakukan pada pembagunan proyek proyek besar apalagi ambisius. Namun jika hal tersebut dikalahkan dengan kepentingan  kebijakan, maka pendekatan BCR yang lebih menjadi dasar pembangunan karena kebutuhan, akan diganti dengan pembangunan karena keinginan.
Kalo pemegang kebijakan ingin ini dan itu, maka boleh jadi BCR minggir. Apalagi yang mampu memperjuangkan pendekatan BCR dalam evaluasi usulan pembangunan sangat minim jumlah dan keberaniannya. Ya, sudah bangun saja.
Nah kebetulan ada sesi presentasi hasil paper tentang BCR. Saya mendapat giliran terakhir pada sesi presentasi. Beberapa kawan yang sudah tampil dahulu membahas tentang pembagunan galangan kapal, ada yang membahas pembagunan jalan, kebetulan saya memilih yang berhubungan dengan pesawat. Tepatnya pembelian pesawat baru.
Kebetulan waktu kuliah, tahun 2000-2001, merupakan pemerintahan Gus Dur. Terus terang, saat itu, ada semacam resistensi dengan pembangunan pemerintahan sebelumnya, khususnya mengenai #Habibienomics. Padahal prestasi Presiden Habibie bukan main-main, menurunkan nilai dollar secara drastis, pembagunan dengan pola Jaring Pengaman Sosial dan lain lain. Bahkan resistensi itu tersirat pernah muncul dari dosen pengasuh, Â yang sangat sederhana, mengajar selaku naik sepeda, masih muda energik, tentu pintar pula.
Nah, saya nekat pada saat pembukaan sesi presentasi, saya sampaikan, alasan saya memilih tentang pesawat, karena untuk menghormati pak Habibie. Suatu hal yang sangat tidak ada hubungannya dengan analisa BCR yang akan saya kemukakan. Namun saya sengaja, mengambil peluang untuk menunjukkan dukungan saya, lebih khususnya kekaguman saya terhadap pak Habibie.Â
Lalu kemudian bagaimana dengan hasil presentasi saya tentang pembelian pesawat itu ?Â
Sudahlah presentasi itu beda dengan presentasi yang lain, saya mengemukakan bahwa pada pendekatan pembelian pesawat itu menggunakan logika terbalik. Manfaat dihitung berdasarkan jika tidak membeli pesawat. Walau pun hasil BCR nya positif, namun saya masih deg degan, menunggu koreksi dari dosen pengasuh. Setelah beberapa teman meramaikan diskusi, dosen pengasuh tersebut menunggu situasi riuh rendah diskusi, sehingga suasana menjadi tenang.
Beliau menyampaikan koreksinya atas presentasi saya. Beliau heran, presentasi saya berbeda dengan presentasi yang lain. Bukan saja saya memilih pembelian pesawat yang perhitungannya lebih rumit, namun juga karena pola perhitungan BCRnya beda!. Salut untuk pembawa presentasi terakhir.
Luar biasa. Saya terharu saat itu. Saya menemukan bahwa Beda Itu Indah. Saya tahu kami beda orientasi terutama kalau sudah menyangkut pak Habibie. Namun beliau sungguh menunjukkan hal hal positif dari paparan presentasi saya. Jauh dari perbedaan yang mungkin saja dapat dilakukan secara terbuka. Sungguh tindakan yang  bijaksana.
Anda mungkin dapat meraba, mengapa saya menuliskan pengaman luar biasa ini ?
Selamat jalan pak Habibie.