Musim ini MU mengawali dengan  performa buruk. Beda jauh dengan musim lalu, pada awal musim, MU begitu bersemangat  dengan Mou. MU tampil begitu  impresif di ICC 2017 Amirika, walaupun harus mengakui keunggulan Madrid di Piala Super Eropa 2017, tetapi semangat besar dan motivasi tinggi MU bergelora bahkan bertaburan dijagad maya fans MU. Pada awal musim lalu MU menunggu sukses musim ke dua Mou. Adakah yang salah dengan MU ?
Mou memang dapat membawa mimpi musim ke dua di Chelsea. Sekali pun Mou harus menelan pil pahit, kalah dengan Pep Guardiola di laga Piala Super Eropa, ketika Chelsea sebagai juara Liga Eropa, ditundukkan Bayern juara Liga Champions, namun Mou berhasil membawa Chelsea sebagai Juara Liga Primer Inggris 2014-2015. Mou punya sejarah mengkilap di musim ke dua. Momentum musim ke dua Mou di MU musim lalu terdorong oleh harapan besar itu.Â
Mou pun tidak melewatkan kesempatan emas musim ke dua di MU. MU begitu luar biasa garang di awal musim lalu. Gegap gempita MU memenuhi jagad maya. MU yakin masa gemilang musim ke dua Mou akan datang.
Namun langkah garang Mou di MU terhadang, ketika harus bermain seri ketika bertandang ke Anfield melawan Liverpool. Mou kembali terkena sindrom parkir bus, ketika berhadapan dengan klub besar Liga Primer Inggris. Pragmatisme statis Mou sering datang menggerus momentum besar pemain pemain hebat asuhannya. Pogba menjadi melempem di MU ketika menjadi binaan Mou.Â
Lukaku harus menahan nafsu membunuh gawang lawan. Rasford harus mondar mandir depan belakang untuk parkir bus. Perhitungan 38 laga di Liga Primer Inggris kalau hanya seri dengan klub klub anggota the big four tapi menang dengan klub lain, membuat MU kehilangan momentum besar untuk menjadi yang terhebat di Liga Primer Inggris. Pada titik inilah sesungguhnya Mou gagal paham.Â
Gagal paham Mou menghambat laju MU di musim ke dua Mou. Tanda tanda MU gagal bersinar di musim ke dua Mou, pun mulai nampak ketika Pep mulai membawa City menggeser puncak klasemen sementara dari MU. Di satu sisi Mou masih terkadang membela diri memainkan pragmatisme statis, di pihak lain saingan berat MU, Pep mendorong City untuk dapat memenangkan setiap pertandingan.Â
Namun MU masih juga gagal paham dengan Mou. Persaingan Mou dengan Pep untuk mengambil penyerang Arsenal, Sanchez, merupakan emosi jiwa Mou untuk mengalahkan Pep. Pep dan City sering menurun performanya pada Januari. Mou merasa menang dari Pep setelah menyabot Sanchez dari City, bekerja sama dengan Arsene Wenger dan didukung managemen MU.Â
Kalau pada musim sebelumnya Pep bekerja sama dengan Mou untuk menahan laju Arsenal masuk ke the big four, maka tanpa malu malu Mou menelpon Arsene Wenger untuk bekerja sama menahan Sanchez, agar tidak diambil Pep ke City.Â
Dukungan MU untuk langkah Mou membawa Sanchez dari Arsenal ke MU, supaya Sanhez tidak ke City, sangat dipuji-puji Mou. Pujian Mou terhadap management MU yang membantu usaha itu pun akhirnya berbuah manis dengan terjadinya perpanjangan kontrak MU terhadap Mou yang berakhir 2020. Tanpa disadari oleh managemen MU, hal itu merupakan gagal paham MU.Â
MU lupa terhadap masa kelabu musim ke tiga Mou. Memang musim ke dua Mou membuat performa MU meningkat tajam. MU disegani di Liga Primer Inggris dan Liga Champions. Nasib MU memang kurang beruntung dengan Mou. Pada saat Mou beraksi dengan parkir bus mendapat cibiran, pada saat bermain menyerang justru kalah dengan lawan yang mengadopsi pragmatisme Mou.Â
Kemenangan MU atas City di Etihad Stadium kandang City, yang menggagalkan pesta dini City sebagai juara Liga Primer Inggris, seolah hilang dengan kekalahan MU dari Sevilla di laga Liga Champions. Pada titik ini MU sudah  gagal bersinar. Sevilla menang atas MU dengan pragmatisme Mou. Hal itu tentu membuat Mou gagal paham.Â