Banyak kejadian dalam hidup ini justru sering tidak linier. Dulu Pak Jokowi hanya pengusaha, sekarang jadi penguasa. Dulu Zumi Zola hanya aktor, begitu jadi penguasa, malah kemudian jadi terdakwa. Hidup seseorang bisa berubah dari waktu ke waktu. Terkadang di satu posisi biasa saja. Kemudian di lain waktu menjadi luar biasa, seperti halnya Ustaz Abdul Somad. Namun satu hal yang pasti, hidup itu tidak linier. Ada titik balik, ada titik belok dalam kehidupan kita. Jangan pernah berpikir kita akan aman aman saja dalam mengarungi samodra kehidupan. Jangan heran, jangan kaget, kalau sesuatu menimpa diri kita atau diri orang lain.
Orang orang jawa sering mengatakan "ojo gumunan", jika melihat sesuatu. Termasuk kalau ada yang memasukkan silsilah dewa dewa dalam wayang pada silsilah Nabi-Nabi. Bahkan silsilah itu pun berlanjut pada orang orang jawa. Dalam cerita wayang yang berasal dari India, tidak ada tokoh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Ke empat tokoh ponakawan tersebut diciptakan ke dalam alur cerita wayang India, ke wayang Jawa. Kalau kemudian muncul silisilah dari Nabi Adam, Nabi Muhammad pada silsilah Dewa Dewa termasuk muncul nya Semar Gareng Petruk Bagong, sampai kepada silsilah raja raja Jawa. Itu adalah kreativitas semata. Sama halnya dengan kreativitas Ken Arok mengawini Ken Dedes yang akan menurunkan raja raja di tanah Jawa.
"Ojo Gumunan", begitu familiar bagi masyarakat jawa. Bagaimana bisa muncul kreativitas Bima Suci, senjata Jamus Kalimasada, sambil Petruk Dadi Ratu. Itu semua tidak ada dalam cerita wayang India. Namun sangat familiar di cerita wayang Jawa. Cerita Bima Suci bahkan oleh sebagian orang dijadikan panutan untuk konsep "manunggaling kawulo lawan gusti".
Ide dasar cerita Bima Suci, adalah usaha keras manusia sebagai makhluk ciptaan Allah untuk menemukan "sangkan paraning dumadi". Asal muasal kejadian, serta tujuan hidup yang hakiki. Bahwa alam pikiran Ibrahim yang mencari "sangkan paraning dumadi" melewati proses melihat alam semesta, matahari bulan dan bintang bintang yang berakhir kepada adanya Maha Pencipta Alam Semesta Allah Subhana wa Ta'ala, dimodifikasi dengan tokoh paling besar, tokoh paling kuat, tokoh paling gigih di dunia wayang Bima Sena yang mencari air suci perwitasari atas suruhan Durna.
Dengan cerdik, masyarakat jawa diajak mengikuti langkah Bima Sena yang selalu taat dan patuh kepada guru/ulama, walaupun perintah guru itu di luar akal, pemikiran orang jawa waktu itu. Apa pun yang disuruh Guru Drona kepada Bima untuk mencari air suci tersebut dilakukan.
Bima atas perintah guru Drona mencari “air suci Perwitasari”. Dalam perjalanan mencari air kehidupan tersebut Bima menuju hutan Tikbrasara yang berarti landeping cipta. Hutan tersebut terletak di gunung ReksaMuka yang artinya Mata. Di hutan ini Bima dihadang oleh dua raksasa Rukmuka yang berarti kedudukan/kekuasaan dan Rukmokala yang berarti kemewahan harta benda. Bima mampu mengalahkan ke dua raksasa itu. Namun air suci Perwitasari tidak ditemukan di sana.
Bima kembali menghadap guru Drona, untuk kembali bertanya, di mana sebetulnya air suci Perwitasari berada. Bima tetap patuh dan taat kepada guru walaupun telah ditipu. Bandingkan dengan peristiwa yang terjadi pada murid kita sekarang terhadap gurunya. Mereka seharusnya mencari air suci Perwitasari, seperti Bima. Bukan malah membunuh guru, karena jengkel!
Sungguh kondisi yang memprihatinkan banyak orang. Ada apa dengan anak anak kita saat ini ? Bima sebagai murid guru Drona tetap taat dan patuh kepada perintah guru. Begitu mudahkah seorang murid tiba tiba merasa bisa melawan guru, sampai pula harus membunuh. Begitu tidak berharganyakah seseorang karena mempunyai predikat guru ? Begitu rendahkah penghargaan seseorang kepada guru honor yang bisa jadi bukan masyarakat berpunya. Begitu bolehkah masyarakat ini tidak lagi menghargai nilai nilai kemuliaan ?
---Begitu besarkah nafsu amarah, nafsu aluamah, nafsu sufiah mengalahkan nafsu mutmainah pada diri pribadi kita. Begitu mudahnyakah, seorang murid sebagai makhluk hidup mengikuti nafsu amarah sehingga mampu membunuh gurunya. Begitu mudahnyakah, nafsu ingin memuaskan diri, mengikuti nafsu aluamah sehingga seorang murid bisa membunuh gurunya. Begitu mudahnyakah nafsu ingin dihargai mengikuti nafsu sufiah dari seorang murid sehingga harus membunuh gurunya. Banyak pertanyaan yang diajukan, karena mereka tidak mau mengikuti jalan lurus yang ditempuh Bima. Bima sebagai satria gagah perkasa, tetap taat dan patuh kepada guru---
Oleh guru Drona, Bima disuruh mencari air suci Perwitasari ke dalam samudra. Bima pun berangkat menuju samodra untuk mencari air kehidupan. Saudara saudara Bima melarang kepergian Bima pergi ke samudra untuk mencari air suci kehidupan tersebut, tetapi Bima tetap kekeh kepada niatnya untuk mencari air suci kehidupan itu.
Hidup itu tidak linier. Kalau hidup itu begitu begitu saja. Alangkah sia sianya hidup dan kehidupan ini. Bagaimana Bima berhasil mencari air suci kehidupan di dasar samudra ? Lalu mengapa sampai terjadi positioning "manunggaling kawulo lawan gusti" ?