Bondan Kaja tiba-tiba kejang. Mulutnya terpaku. Matanya melongo. Bondan Kaja seperti tidak percaya, bahwa dia sedang berhadapan dengan Panembahan Jati. Panembahan Jati yang ahli ngelmu tua itu ternyata masih muda. Bukan saja orangnya berpenampilan sederhana, tetapi juga tinggal di perkampungan orang orang biasa. Sulit membayangkan Panembahan Jati dapat ditemukan identitasnya, soalnya sobat karibnya yang tinggal di Jejer Kauman saja, belum pernah berjumpa. Namun situasi gegar wacana itu tiba tiba pudar, gara gara senyum Panembahan Jati yang ramah. Setelah mereka bersalaman sambil berjalan Panembahan Jati bercerita panjang lebar. Bondan Kaja seperti kena magnit, mengikut saja arah Panembahan Jati menuju, sambil sesekali berbisik oh begitu, ya, oh dan oh.
Dalam perjalanan Panembahan Jati, bercerita tentang apa saja, dari sejarah kerajaan di Jawa, keris, reformasi, krisek, sampai rumah hantu.
Rumah hantu ?
Ya. Rumah hantu.
Soalnya kalau rumah pejabat, nggak horor namanya.
Sok sok koplak. Emang bisa ?
Cling!
Tiba-tiba ada notifikasi Line. Bunyi itu membuat kepala Bondan Kaja bergerak. Terbangun dii antara sadar dan tidak, Bondan Kaja segera mengambil smartphonenya. Coba dilihat sebentar, ada apa sih tengah malam begini, kok ada juga yang mau kontak, pikir Bondan Kaja.
mBah Ukik, tumben nih. Ngapain pinisepuh yang tahu sakdurunge winarak itu, malam-malam begini kontak via Line. Ngeri juga Bondan Kaja. mBah Ukik itu Petinggi Padepokan di Lereng Gunung Bromo. Sanepo apa yang akan diterima Bondan Kaja, dalam kehidupannya yang akan datang ya ? Tubuh Bondan Kaja bergidik. Layar smartphonenya bergerak-gerak, plung lap. Bondan Kaja semakin ngeri saja. Dengan semangat yang masih tersisa, Bondan Kaja mengusap layar hpnya.
Tiba-tiba muncul pesan, “Titian Rambut Dibelah Dua”.
Alhamdulillah, pikir Bondan Kaja. Masih untung dibelah dua, kalau sempat dibelah tujuh, belum banyak nih persediaan yang dibawa.