"Baginda  air panasnya sudah masak. Kalau mau mandi"
"Terima kasih Bunda Fitri. Belum imsak kan ?"
Dikecupnya kening Bunda Fitri.
Ada yang terasa berdesakan di dada Raja Armanda ketika mengecup kening Bunda Fitri.
"Baginda waktu imsak sudah dekat", bisik Bunda Fitri.
Pagi di lereng SUndoro SUmbing cuaca nampak segar. Namun tidak begitu dengan hati Bunda Fitri. Walaupun mereka Raja Armanda dan Bunda Fitri telah menyepi di lereng Gunung SuSu, tetapi Bunda Fitri tetap mendengar bisik bisik tetangga. Kalau cucunya Adhieyasa akan berebut tahta harta dan wanita dengan ayahandanya Raja Difangir. Namun Baginda Raja Armanda nampak tenang tenang saja. Kelihatannya Baginda Raja Armanda menikmati kebahagiaannya sebagai rakyat biasa dan tidak lagi ingin memikirkan masalah kerajaan.
Memang yang Bunda Fitri lihat, pejabat kerajaan masih ada yang menghubungi Baginda Raja Armanda khusus untuk kegiatan sosial keagamaan. Begitu juga para pengusaha, selalu mempercayakan kegiatan CSR mereka kepada Raja Armanda.Â
Namun mengingat Adhieyasa adalah cucu Bunda Fitri, maka Bunda Fitri hatinya gelisah.
"Baginda, apakah Baginda tidak mengkhawatirkan nasib cucunda Adhieyasa ?"
"Bunda Fitri. Suamimu ini kan sudah tidak punya kekuatan dan daya apa apa lagi"
"Tidak punya kekuatan dan daya. Lihat isi kamar ini. Guling entah terlempar di mana. Bantal masih untung tidak sobek. Kalau selimut sudah jangan ditanya. Kalau tidah berani. Sudahlah" seru Bunda Fitri.