Â
Medinah adalah salah satu tanah suci, selain Mekkah Al Mukarrahmah. Di dua kota suci tersebut, diyakini bahwa jika kita berbuat salah, maka akan menerima hukuman. Terkadang bentuk hukuman itu di luar kesadaran kita, bisa saja langsung berhubungan dengan perbuatan salah yang kita lakukan, namun bisa juga berbeda. Namun pada hakekatnya, hukuman atau peristiwa atau kondisi yang akan menimpa, atau kita terima merupakan suatu hal yang merugikan, bahkan dapat menyakitkan baik secara fisik maupun non fisik. Pengalaman berikut mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan apakah perbuatan salah yang sudah saya lakukan, memang langsung mendapat hukuman.
Sepuluh tahun yang lalu, pada saat belanja di kebun kurma di Madinah, saya sudah menyepakati untuk membeli beberapa jenis buah kurma yang sudah dibungkus rapi dan cantik. Setelah terjadi kesepakatan harga, maka saya berikan sejumlah uang yang lebih besar dari jumlah yang harus saya bayar. Pada saat menunggu pengembalian uang lebih pembayaran pembelian kurma itu, tiba-tiba entah ada informasi atau ada keinginan saya untuk mengganti salah satu bungkus kurma dengan harga yang lebih mahal. Dengan niat baik, karena suasana sangat ramai, sehingga suara saya kalah dengan suara orang lain, atau si pedagang kurma tidak mendengar atau melihat keinginan saya untuk merubah bungkusan kurma dengan harga yang lebih mahal itu, padahal ketika saya ingin mengganti dengan bungkusan kurma yang lebih mahal itu, saya sudah bertanya dahulu kepada si pedagang kurma, berapa harganya, dengan maksud mengetahui apakah jumlah pembayaran kurma harus saya tambah atau masih cukup dari sejumlah uang yang sudah saya berikan kepada pedagang kurma tersebut. Dalam perhitungan saya jumlah uang yang saya berikan kepada pedagang kurma dengan penggantian bungkus kurma yang lebih mahal, masih terdapat sisa sejumlah uang yang harus saya terima. Saya merasa sudah berteriak beberapa kali mengenai penggantian bungkus kurma yang lebih mahal itu, namun karena terlalu banyak orang atau si pedagang beranggapan bahwa saya berteriak-teriak terus karena ingin meminta pengembalian sisa pembayaran yang harus saya terima atau hal yang lain, saya kurang begitu paham, karena masalah bahasa, walaupun dalam hal harga bahasa Indonesianya jelas. Ketika akhirnya menerima pengembalian sisa pembayaran, begitu saya hitung ternyata masih pada harga pembelian bungkus kurma yang lama, belum dengan bungkus kurma yang sudah saya ganti dengan harga yang lebih mahal. Awalnya saya merasa bersalah, karena saya mendapat uang pengembalian yang lebih besar dari yang seharusnya.
Hal tersebut membuat saya kembali berteriak, bahwa saya sudah mengganti salah satu bungkus kurma yang paling mahal yang tadinya sudah saya pilih dan disepakati bersama, dengan bungkus kurma yang lebih mahal lagi. Namun si pedagang tidak mengacuhkan teriakan saya. Saya mencoba berusaha keras untuk berteriak berulang, membe'ri kode bahwa pilihan buah kurma yang paling mahal, sudah saya ganti dengan yang lebih mahal lagi, sambil menunjukkan uang pengembalian yang saya terima. Entah karena apa, saya sampai sekarang tidak tahu sebanya, tetapi si pedagang tidak merespons, teriakan serta uluran tangan dengan uang pengembalian yang saya terima. Suasana memang riuh rendah di kebun kurma itu, karena di samping waktu yang sangat pendek, ingin mengejar Arba'in, juga jumlah pembeli sangat banyak. Akhirnya dengan santai saya berpikir, terserah lu aja, gue udah kasih tahu, ya. Bungkus kurma yang lebih mahal itu pun saya bawa kembali ke hotel, sedang uang pengembalian yang lebih besar dari yang seharusnya saya terima, saya masukkan ke dalam saku. Dengan senyum merasa beruntung saya kembali ke hotel bersama rombongan.
Sesampainya di hotel, setelah sholat dhuhur, istri saya mengajak jalan-jalan untuk membeli sesuatu di toko sekitar hotel. Pada saat istri saya menawar barang ini itu, atau menanyakan harga suatu barang, tiba-tiba si penjual di toko, bilang kepada saya, bahwa uang saya jatuh dan dia memberikan sejumlah uang kepada saya. Entah karena suatu hal apa, saya juga tidak ingat secara persis peristiwanya, yang saya ingat hanya waktu itu tiba-tiba saya merasa sekeliling saya gelap, ketika kemudian terang kembali, saya melihat kalau si penjual di toko ingin memberikan sejumlah kepada saya dan mengatakan kalau uang saya jatuh dari saku. Namun saya merasa saya tidak membawa uang di saku. Istri saya juga mengingatkan kepada saya, coba-coba diingat-ingat lagi, apakah uang pengembalian kurma di kebun kurma tadi saya taruh di saku baju saya. Saya berkeras, bahwa saya tidak membawa uang di saku baju saya. Akhirnya si penjual toko berkata kepada saya, halal! Saya pun menjawab halal. Setelah itu, isteri saya mengajak pulang kembali ke hotel.
Pada saat di kamar hotel itulah, baru saya sadari kalau uang kembalian yang berlebih pada saat beli kurma di kebun kurma tadi sudah tidak ada lagi. Istri saya bilang, berarti si penjual toko tadi benar bahwa dia mau memberikan uang saya yang jatuh dari saku baju saya. Namun karena sudah berjabat tangan dan menyebut halal, maka saya ikhlaskan sejumlah uang saya yang nominalnya lebih besar dari perbedaan harga kurma yang saya beli itu berganti pemilik. Kemudian saya istigfar, mohon ampun kepada Allah SWT. Bahwa hukuman yang saya terima walaupun secara nominal merugikan, namun datang secara cepat dan saya berharap itu dapat menghapus kesalahan saya sewaktu mengambil kurma dengan harga yang lebih tinggi dari yang saya sepakati bersama sementara saya tidak berjabat tangan dan mengucapkan halal waktu melakukan transaksi yang menguntungkan saya tetapi merugikan pihak lain, yaitu pedagang kurma.
Berjabat tangan atau sepakat dan menyebut halal, merupakan salah satu cara untuk tidak merugikan pihak lain saat ke dua pihak menyepakati suatu harga tertentu pada saat pembelian suatu barang. Kalau pihak penjual belum sepakat dengan harga yang kita kehendaki, apalagi mereka marah, karena kita menawar terus, mereka bisa saja berteriak haram-haram, bahkan sampai barangnya pun mereka berikan saja kepada pembeli. Hal yang demikian hendaknya dihindari. Itu berarti pembeli sudah mengambil barang haram. Mengambil barang haram merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum Allah. Pelanggaran terhadap hukum Allah dapat mendapatkan hukuman.
Â
Pada saat kemarin kembali kami berkunjung ke kebun kurma, hal tersebut tidak kami lakukan kembali, walaupun setelah terjadi kesepakatan harga, ada terbersit keinginan untuk kembali membeli kurma yang lebih mahal. Namun kemudian saya ikhlaskan saja untuk membeli kurma yang sudah kami sepakati. Begitu juga sewaktu si Cantik Bungsu berbelanja sesuatu dan melakukan penawaran, setelah sepakat dengan suatu harga tertentu, namun kemudian ingin menambah jumlahnya dan menawar lagi dari jumlah yang sudah sepkati, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang pasti, maka begitu mendapatkan pengembalian dengan harga penawaran yang diminta Si Cantik Bungsu, lalu saya bergegas mengukirkan tangan dan segera mengatakan halal! Si penjual pun menyebut kata yang sama: halal. Alhamdulillah. Karena kalau sampai si pedagang tidak menyebut kata halal, bisa saja si Cantik Bungsu membeli sesuatau yang haram. Saya tidak ingin Si Cantik Bungsu menerima hukuman.
Â
Namun suatu hari saya khilaf lagi. Saya membeli sebungkus nasi goreng telur dengan harga yang sudah disepakati, namun saya mengambil 2 buah sendok untuk makan nasi tersebut. Karena situasi ramai, dan si penjual nasi goreng berkonsentrasi pada penerimaan uang, dia seperti memberi kebebasan dalam pengambilan barang. Sebetulnya saya sudah merasa bersalah saat mengambil 2 sendok itu, karena hanya membeli sebungkus nasi, kok mengambil 2 buah sendok. Namun sewaktu sebelumnya membeli nasi yang sama, tidak mengambil sendok, jadi saya pikir nggak apa-apalah. Padahal belum tentu saya membeli nasi itu pada pedagang yang sama. Namun prinsip utamanya adalah saya tidak mengatakan halal, ketika saya mengambil lebih dari yang seharusnya!