Mohon tunggu...
Joker Doang
Joker Doang Mohon Tunggu... -

mencoba mengisi hidup dengan kebajikan dan kebijakan\r\nhttp://cer-mat.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saatnya Berdemokrasi ala Indonesia (2)

3 November 2014   05:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:50 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa saat ini dalam sistem demokrasi kita pengambilan keputusan dengan cara voting seakan menjadi "tradisi"? Apa kelebihan dan kekurangan cara voting dibanding dengan musyawarah mufakat?

Voting memang sebuah tradisi dalam demokrasi di Indonesia semenjak masa reformasi. Kita saksikan secara langsung di TV pelaksanaan voting di lembaga demokrasi seperti DPR dan DPRD mulai dilaksanakan saat itu. Sebelum masa reformasi hampir tidak pernah kita dapat meyaksikan "pertunjukan" demokrasi yang demikian. Apalagi pada akhir-akhir ini begitu DPR hasil pileg 2014 dilantik "voting" demi "voting" terus menghiasi layar kaca seolah menjadi serial TV yang kita saksikan secara sambung-menyambung. Idealnya sistem voting akan memberikan jalan keluar di saat pengambilan keputusan mengalami kebuntuan, ternyata hal itu tidak akan terwujud mana kala pihak-pihak yang terlibat justru tidak meyakini bahwa sistem voting sebagai sebuah aturan main yang resmi. Voting memang adu kuat, adu banyak, dan adu strategi. Prasyarat pelaksanaan voting yang ideal menurut saya adalah saat para pihak yang terlibat dalam posisi bebas, merdeka tanpa ikatan (dalam sistem pemilu sering disebut LUBER dan JURDIL). Namun manakala para pihak yang terlibat tidak dalam posisi yang demikian sebenarnya voting hanyalah perwujudan dari perhitungan matematis yang tak mungkin meleset. Kemenangan telah dapat ditentukan jauh sebelum pelaksanaan voting dilaksanakan. Jadi apa yang salah dengan sistem voting? Bukan sistem votingnya yang salah, menurut saya aturan mainnya yang mengkerdilkan sistem voting. Akibatnya pihak yang sudah merasa kalah sebelum bertanding tidak/kurang dapat menerima keputusan yang diambil. Contoh nyata adalah saat pemilihan pimpinan DPR dan MPR. Dengan sistem yang sama, namun beda rasa. Saat pemilihan DPR pihak yang secara matematis kalah sudah pasrah, sementara saat pemilihan pimpinan MPR, kedua pihak merasa ada harapan untuk meraih dukungan dari DPD yang diyakini dalam posisi netral secara individu, walaupun secara lembaga sudah menyatakan dukungan pada salah satu pihak. Cita rasa demokrasi lebih terasa disana.

Lantas harus bagaimana sekarang? Mau tidak mau karena kita adalah sebuah negara yang menghormati konstitusi, ya jalankan saja sesuai konstitusi dan terus berusaha untuk menyempurnakan aturan main di masa mendatang. Pangkal dari demokrasi adalah taat aturan, karena demokrasi tanpa aturan hanyalah kebebasan yang akan menyengsarakan. Mari berdemokrasi dengan aturan yang ada dan berlaku saat ini. Saya masih meyakini para wakil rakyat benar-benar bekerja untuk rakyat bukan sekedar mencari kedudukan dan posisi untuk diri dan golongannya sendiri, sehingga perbaikan aturan main itu pasti akan dilakukan dengan sebaik-baiknya dibawah pengawasan seluruh rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya.

Voting memang lebih praktis, lebih simpel dan lebih cepat dalam pengambilan keputusan dibanding dengan musyawarah/mufakat. Pengambilan keputusan dengan musyawarah/mufakat hampir selalu merupakan perwujudan dari akomodasi kepentingan, sehingga sistem ini dapat dilaksanakan pada saat kita siap untuk mewadahi semua kepentingan yang ada. Hasil musyawarah mufakat merupakan bentuk resultante dari semua kekuatan kepentingan. Sehingga biasanya keputusan yang diambil dengan musyawarah mufakat lebih dapat diterima oleh semua pihak. Namun musyawarah mufakat membutuhkan waktu yang relatif lebih banyak dalam pengambilan keputusan. Hal ini karena harus di cari titik temu yang pas untuk mengakomodasi banyak kepentingan, dan hal itu tidak akan mudah dilakukan saat hanya ada dua pilihan berbeda. Strateginya adalah dengan merinci dua kepentingan menjadi sub-sub yang lebih rinci, sehingga mungkin akan dapat ditemukan alternatif-alternatif baru sehingga pilihan akan bertambah. Saat pilihan lebih dari dua maka harapan untuk menemukan titik temu dari perbedaan kepentingan yang semula akan semakin besar. Kalau kita tidak sabar dengan hal ini ya gunakan voting saja yang lebih praktis dan cepat. Tetapi jangan dilupakan prasyarat yang telah dikemukanan di atas. Kebebasan memilih pilihan dalam voting merupakan syarat mutlak. Saran saya Hapuskan fraksi di DPR, atau minimal gunakan voting tertutup untuk pilihan apapun. Kekuasaan partai atas anggota-anggotanya harus berakhir saat sang anggota dilantik menjadi anggota DPR. Anggota DPR harus dianggap bukan lagi anggota partai, mereka adalah pribadi-pribadi yang mandiri, yang dengan kesadaran dan kemampuannya akan mendarmabaktikan dirinya untuk kemajuan dan kemamuran seluruh rakyat, bukan anggota partai tertentu saja, atau bahkan menyejahterakan partainya saja. Hal ini juga untuk menghidari saat seorang anggota DPR melakukan kesalahan/pelanggaran sudah tidak terkait dengan partai sebagai lembaga, namun benar-benar kesalahan yang harus dipertanggungjawabkanya sendiri secara pribadi.

Kalau prasyarat voting tidak terpenuhi yang akan terjadi adalah keputusan yang tidak dapat diterima dengan lapang dada seperti yang kita saksikan saat ini. Salahkah mereka yang tidak dapat menerima keputusan voting? Untuk saat ini, dengan aturan yang ada saat ini, menurut saya mau tidak mau ya harus menerima, sambil berusaha untuk memperbaiki di masa yang akan datang. Karena tidak ada lembaga (sepengetahuan saya) yang diberi wewenang untuk mengadili perselisihan hasil voting di DPR. Berbeda dengan perselisihan hasil vote dalam pemilu, ada lembaga yang berhak untuk mengadili yatu MK. Mungkinkah perlu juga dibentuk sebuah lembaga yang khusus diberi wewenang untuk menangani perselisihan hasil voting di DPR???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun