Kenapa setiap lagu yang berbau kota Solo selalu menarik dan banyak diminati para pecinta musik??, mulai dari yang ber  Genre Keroncong seperti Bengawan Solo, Solo di Waktu Malam, Kota Solo, Putri Solo, hingga yang beraliran campursari seperti Stasiun Balapan, Taman Jurug hingga Terminal Tirtonadi. Magis apa yang diberikan kota ini hingga lagu-lagu yang berkisah tentang solo begitu membahana, namun kali ini saya tidak akan membahas mendalam tentang lagu soal solo itu. Menyinggung kota Solo, tak lengkap rasanya tanpa membicarakan wayang orang.Â
Selain Serabi dan Tengkleng, kesenian ini terlanjur menjadi sebuah Icon yang kadung menyatu dengan kota kelahiran presiden Jokowi tersebut.Â
Seni pertunjukan yang pada 2023 Â akan genap berusia 113tahun ini, memiliki cerita dan sejarah panjang hingga berhasil mempertahankan eksistensi ditengah gempuran modernisasi hiburan dan kemajuan teknologi yang tak dapat kita pungkiri. Wayang orang Sriwedari memulai kibarnya sejak tahun 1899 manakala pembangunan taman Sriwedari pertama kali dimulai oleh Susuhunan Pakubuwana X, namun pada masa itu pertunjukan wayang orang masih merupakan konsumsi ekslusif bagi lingkungan keraton, hingga pada tahun 1910 wayang orang Sriwedari sebagai satu kelompok budaya komersial melakukan pertunjukan bagi masyarakat umum dan mengadakan pentas secara tetap di taman yang merupakan tempat hiburan milik Keraton Surakarta tersebut.Â
Perjalanan hingga sampai pada usia 110 tahun bukanlah satu perkara yang mudah untuk dilalui. Berjaya pada tahun 50--an sampai akhir tahun 70-an, wayang orang sriwedari mulai kehilangan pamor dan pengemar saat memasuki medio tahun 1980 dimana gempuran kehadiran TV swasta yang menghadirkan berbagai macam hiburan alternatif serta berbagai hiburan lain mulai mengerus eksistensi pertunjukan seni tradisonal.Â
Lambat laun wayang orang Sriwedari pun mulai kehilangan penonton terlebih bila hujan deras melanda kota Solo gedung yang punya kapasitas ratusan tempat duduk tersebut terlihat sangat sepi bahkan suara tokek yang menghuni salah satu sudut lebih nyaring terasa dibanding dialog para pemain ketika sedang pentas diatas panggung tak jarang pula pertunjukan mereka hanya disaksikan oleh penonton dalam hitungan jari bahkan berpenonton kursi kosong pun kerap mereka lakoni, kondisi yang terus berjalan sampai awal tahun 2000-an.Â
Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta untuk mengangkat sebagian besar dari pemain dan pengrawit wayang orang Sriwedari sebagai PNS setidaknya merupakan langkah tepat untuk memberikan jaminan tentang masa depan bagi para anggota. Walaupaun bukan segalanya, setidaknya status tersebut tidak membuat para pemain merasa takut kehilangan pendapatan dari penjualan tiket seharga 10.000 untuk kelas VIP dan 7.000 serta 5.000 untuk kelas I dan II bila pertunjukan yang mereka mainkan setiap hari kecuali hari minggu tersebut sepi oleh penonton.Â
Terlepas dari kisah pilu, sedih dan sedan itu, wayang orang Sriwedari adalah sebuh kerinduan tersendiri. Pantas untuk disematkan tujuan rindu karena bertahan selama 110 tahun bukanlah perkara mudah, hitungan waktu yang boleh jadi hampir mustahil untuk dikalahkan oleh seri drama korea, cerita sukses sebuah boy band ternama atau bahwan sinetron dengan rating serta episode terlama sekalipun.Â
Sebuah kerinduan karena dengan melihatnya, dimensi akan membawa kita pada kenangan kejayaan sebuah era yang pada masanya adalah sebuah simbol -- simbol serta ekspresi keceriaan.Â
Jauh di atas itu, wayang orang yang jalan ceritanya kebanyakan mengambil kisah dari serial Mahabaratha dan Ramayana ini adalah sebuah pintu dan yang kepadanyalah kita bisa membuka serta sejenak melihat gambaran manusia seutuhnya. Kemunculan tokoh Sengkuni langsung membawa ingatan kita tertuju pada sosok yang karenanyalah dua saudara yang berasal dari satu orang tua yang sama dilanda perpecahan hingga berakhir pada satu perang kebenaran yang dinamakan Baratayudha.Â
Banyak di antara kita, teman, karib, tokoh bangsa atau bahkan diri kita sendiri yang mempunyai sifat sama dengan Sengkuni ini, sadar atau tidak. Atau tokoh Maha Guru Drona, seorang penasehat spiritualnya Kurawa dan Pandawa. Guru yang dalam tatanan keilmuan sudah tergolong tinggi ini, sayang harus terhinakan sebab masih terlalu silau dengan harta serta kehormatan.Â
Sampai pada kisah ke playboy an Arjuna, padanya lah para lelaki bisa bercermin tentang bagaimana menaklukan pujaan hati itu. Setidaknya karakter -- karakter tokoh pewayangan yang ditampilkan adalah miniatur dan cermin kecil bagi diri kita. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H