Mohon tunggu...
Wijanarko Dwi Utomo
Wijanarko Dwi Utomo Mohon Tunggu... wirausaha -

Seorang anak lelaki, seorang suami dan seorang ayah, yang punya banyak dosa, dan mencoba untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Blogger, Bitcoin Miner, Bekerja dari rumah memanfaatkan teknologi internet.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Rempeyek Kacang

7 November 2014   18:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:23 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbuat dari adonan tepung terigu dan kacang tanah, lalu kemudian digoreng tipis. Kalau dalam nomenklatur makanan internasional, rempeyek termasuk kategori ‘crackers’.

Rempeyek, buat saya pribadi, makanan ini memiliki muatan emosional yang mendalam. Saya kenal rempeyek sejak saya masih duduk di sekolah dasar, dimana ketika itu saya mulai berkenalan dengan seorang nenek penjual nasi pecel di daerah Tegalboto, Jember. Dalam sebuah hidangan nasi pecel, rempeyek adalah salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan menurut saya. Nasi pecel tanpa rempeyek, kira-kira kalo jaman sekarang sama dengan no picture = hoax.

Kembali ke topik rempeyek yang dijual oleh nenek tersebut sesungguhnya bukanlah rempeyek yang mewah, cenderung bersahaja malah, namun rasanya di lidah sungguh nikmat, oleh karenanya meninggalkan kesan emosional yang mendalam bagi saya.

Kesukaan saya pada rempeyek, tentu terbawa hingga saya dewasa kini. Saat saya sudah tidak tinggal lagi di Jember, dan saya juga tidak tahu apakah sang Nenek penjual pecel tersebut masih ada, ataukah sudah digantikan oleh anak / cucunya. Wallahu’alam. Tinggal di Bandung, pada awalnya membuat saya cukup kesulitan untuk menemukan sajian nasi pecel di pagi hari. Nasi pecel yang rasanya saya kenali ketika saya SD dulu. Suatu ketika saya mendapati sebuah rumah makan yang menyediakan menu nasi pecel, namun saying dalam penyajiannya rumah makan tersebut tidak mengikutsertakan rempeyek sebagai mitra strategis si nasi pecel, akibatnya sensasi kenikmatan nasi pecel tidak sama dengan yang pernah saya rasakan ketika jaman SD dulu. Ibarat kata kalo nyetir mobil di tanjakan, saya harus injek setengah kopling ketimbang gas pol.

Syukur Alhamdulillah, pada suatu ketika setelah shalat Jumat di masjid dekat kantor, saya menemukan penjual rempeyek yang cukup enak rasanya. Tapi lagi-lagi perasaan bahagia saya belum lengkap, karena rempeyek tersebut belum bertemu jodoh dengan nasi pecel idaman saya. Hidup terus berjalan, beberapa waktu kemudian seorang sahabat menginformasikan dia menjual bumbu pecel Buhajah yang rasanya ciamik. Tanpa piker panjang saya order untuk mencobanya.

Akhirnya rempeyek tersebut dapat bertemu jodohnya nasi pecel idaman di meja makan rumah saya.

Catatan:
Saya kesulitan mengunggah foto ke dalam artikel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun