Biasanya deket-deket akhir tahun gini ada yang anget-anget mbakar. Sebentar lagi, tunggunen. Apa itu? Jagat dunia permedsosan yang sudah ribut bakalan tambah ribut masalah ngucapken semacem selamat Natal apa nggak. (Semoga saya salah) Namanya ribut berarti ada pro-kontra. Sebelah sini menentang sampai ndakik-ndakik dan sebelah sonoan dikit mendukung sampai ngetokne keris.
Ini bukan menyiram bensin lho ya. Ini cuma semacam memadamkan dengan siraman nan menyejukkan. Umpama lagi panas-panasnya pihak yang tengah ‘memperebutkan kebenaran’, tiba-tiba ada yang nyiram air es sak ember ke keduanya apa yang akan terjadi?
Pertikaian berhenti dan biasanya yang disiram akhirnya sepakat untuk mengejar yang nyiram. Bukankah itu happily ever after? Penyiramnya juga bahagia karena menghentikan pertikaian. Walaupun akhirnya dia dikejar-kejar sambil diacungin ember. Nah saya mencoba menjadi penyiram, sambil saya berdoa semoga gak ada yang mengejar-ngejar.
Jadi begini manteman. Ini berdasarkan pengamatan saya yang fana. Meskipun fana begini, umur yang saya habiskan menatap facebook itu diitung-hitung lumayan panjang juga. Jadi saya merasa perlu menyampaikan ini buat kenyamanan kita bersama.
Ini pendapat saya :
Mengucapkan ucapan selamat natal itu monggo.
Tidak mengucapkan selamat natal itu juga monggo.
Selama ketika melakukan salah satunya kita paham betul kenapa kita melakukannya lengkap dengan konsekuensinya. Kamu melakukannya dengan ilmu. Bukan sekadar ikut-ikutan atawa latah.
Latah itu semacam sakit gila no. 7: kemana perginya akal sehat? – teori 44 macam penyakit gila versi Ibu Ikal dalam Laskar Pelangi. Semakin kecil angkanya semakin parah.
Selain latah, ada yang lebih mendesak dan patut kita renungkan bersama, kebiasaan mencekoki dan merecoki yang tidak sehat. Meng-klik share serta ctrl c + ctrl v tentu lebih mudah daripada memverifikasi kebenaran menggunakan Google sekali pun. Sampai munthuk-munthuk kamu ngomong juga. Wong selogis apapun argumenmu itu yang benci bakalan nurut sama kamu. Yang sependapat sama kamu juga nggak butuh itu. Bukankah begitu?
Soalnya masing-masing berangkat dari suatu keyakinan yang baru dicari hujah/alasan yang menguatkan. Pola pikirnya sungsang.
Trus nanti nggak ada yang 'menyampaikan kebenaran’ di media sosial dong? Lha ini, menyampaikan sesuatu ya harus adil, masak menyampaikan yang mendukung pendapatmu thok. Trus kalau tahu ada kesalahan pada apa yang kamu bagikan, apa kamu mau mengungkapkan kesalahan tersebut?
Dialektika atau metode untuk mencari kebenaran lewat diskusi dan debat, menjadi tidak efektif dalam menyelami suatu masalah. Jikalau para pelakunya sudah menutup diri terlebih dahulu. Apa bisa gelas yang sudah penuh terus menerus diisi? Apalagi gelas tersebut bersahap(memakai tutup).
Ngomong-ngomong H-1 Natal itu Maulid Nabi Muhammad ya? (Jangan-jangan ini juga ada yang ribut juga, maulid bid'ah apa nggak. Bleh) Cuma satu yang kayaknya pasti. Bagi manusia-manusia yang masih terikat pada kelas demi kelas, tanggal merah adalah sebuah anugerah. Hahaha
Selamat Hari Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H