Sebab, rekan saya berdiskusi, mengajar di sekolah yang jauh lebih memadai, baik dari fasilitas yang dimiliki siswa, respon siswa dan orang tua, serta kemampuan mengajar guru yang juga lebih baik. Akhirnya rencana saya membuat PTK PJJ gagal total.
Untuk pengingat bagi kita semua, bahwa PTK hadir ketika guru menganggap bahwa proses pembelajaran mengalami masalah, bukan ketika akan mengusulkan kenaikan golongan.Â
Lebih jauh lagi, PTK juga tidak hanya 'urusan' guru dengan status ASN. Guru non-ASN juga membutuhkan PTK. Hal ini saya sampaikan ketika berlangsung kegiatan pelatihan menulis online, yang diadakan oleh Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) Nusa Tenggara Timur.Â
Di kolom chat, pertanyaan dominan tentang PTK dan hubungannya dengan kenaikan golongan/pangkat. Salah seorang peserta mengatakan, bahwa kenapa melulu membahas PTK dan kenaikan golongan, apakah semua peserta ASN?.
Seketika saya teringat percakapan kemarin pagi dengan dua orang guru muda yang akan mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) secara online. Secara kebetulan mereka berdua adalah siswa saya ketika SMA, dan sekarang mengajar di sekolah yang sama. Agak tercengang saya mengamati poin demi poin pada komponen portofolio yang harus disiapkan. Poin teratas adalah melakukan penelitian dan publikasi, yang juga memiliki bobot tertinggi, 4 poin. Dan, komponen tersebut merupakan syarat mutlak bagi guru peserta PPG, baik yang berstatus ASN maupun non-ASN. Untuk menentukan kelulusan, akan diperoleh nilai akhir yang disebut dengan nilai ukin (uji kinerja). Nilai ukin merupakan hasil akhir dari nilai portofolio dan komponen lainnya.
Dengan demikian, maka PTK bukanlah milik guru ASN semata, tetapi milik seluruh insan yang disebut guru. Kita sadar, bahwa pemerintah melakukan berbagai upaya demi perbaikan pendidikan di negeri ini. Jangan sampai bocah pemilik negeri ini menyesali kita suatu saat, ketika PISA kembali merilis temuannya tentang kualitas pendidikan di Indonesia.Â
Apalagi suara-suara sumbang pernah terdengar bahwa 'guru makan gaji buta', walaupun suara itu semakin senyap.Â
Kita tidak perlu membalas stigma buruk tersebut dengan cara mengupload status barbar, sebab guru adalah sosok yang harus digugu dan ditiru. Abaikan saja jika masih ada nada-nada miring tentang guru, yang paling penting adalah memperbaiki kualitas diri dan kinerja.
Kembali ke topik AKM. Jika berpedoman pada pernyataan mas Menteri bahwa tidak perlu mengadakan bimbingan khusus terhadap siswa peserta AKM, maka saya bertanya pada diri sendiri.Â
Sejauh manakah saya telah memahami apa dan bagaimana AKM; mampukah saya merakit soal AKM untuk siswa saya di SMA; apakah saya telah mendapat bimbingan/pelatihan tentang AKM?
Barangkali pertanyaan ini untuk diri saya sendiri. Namun jika anda, rekan guru lainnya juga memiliki pertanyaan yang sama, justru itulah yang saya kuatirkan. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok