Terkesima, itulah reaksi saya ketika mendengar penuturan teman yang mengatakan bahwa "Guru adalah dewa". Merasa penasaran dengan teori tersebut, akhirnya saya menelusuri berbagai literatur tentang guru dan dewa. Menurut Ki Hajar Dewantara (1992) guru adalah teladan, model, dan mentor bagi siswa dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter. Sementara menurut Husnul Chotimah (2008), guru adalah orang yang memfasilitasi proses peralihan ilmu pengetahuan dari sumber belajar ke peserta didik. Referensi ketiga adalah pengertian guru menurut UU No. 14 tahun 2005, guru adalah tenaga pendidik profesional yang memiliki tugas utama untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan menengah.
Dari tiga pendapat tersebut, sayangnya tak satupun teori yang mengatakan bahwa guru adalah dewa. Lantas, apakah yang dimaksud dengan dewa?, mari kita ulik. Menurut Wikipedia, Dewa adalah entitas supranatural yang menguasai unsur-unsur alam atau aspek-aspek tertentu dalam kehidupan manusia. Mereka disembah, dianggap suci, dan keramat, serta dihormati oleh manusia. Dalam agama Hindu, dewa adalah makhluk tuhan yang memiliki peran penting dalam kehidupan umat Hindu. Kata dewa berasal dari kata "div" yang berarti bersinar. Nah, dari hasil penelusuran tentang pengertian dewa, tidak ada juga benang merah antara guru dengan dewa, apatah lagi mensejajarkan guru dengan dewa.
Belakangan ini, guru kerap dihadapkan pada dilema. Jika guru menerapkan disiplin maka ada saja suara-suara sumbang yang mengatakan bahwa guru melanggar hak asasi anak, bahkan memenjarakan guru. Sebaliknya, jika siswa dibiarkan semaunya, apa jadinya dengan generasi emas, mau dibawa kemana kata bang Armada. Tugas dan tanggungjawab guru adalah mengajar peserta didik, mendidik, melatih, membimbing dan mengarahkan, dan memberikan dorongan pada murid. Guru juga berperan sebagai motivator, administrator, evaluator, dan inspirator. Menilik demikian komplitnya tugas dan tanggungjawab guru, sangatlah wajar jika guru diberi apresiasi yang tinggi meski tak harus disejajarkan dengan predikat dewa.
Sebagai seorang guru, yang juga dididik dengan sangat baik oleh guru-guru di SD Negeri Pondok Bulu, SMP Negeri 2 Tiga Dolok, SMA Negeri 3 Pematang Siantar, dan IKIP Negeri Medan/Unimed, saya memberi rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada para guru saya. Tak sebersit pun dalam hati bahwa saya lebih pintar dari mereka, meski mungkin jenjang pendidikan saya lebih tinggi. Saya menyadari, tanpa didikan mereka yang terkadang sangat teramat keras, bisa jadi saya tidak pantas untuk menyandang predikat guru hari ini. Atas didikan merekalah maka saya mampu merangkai kata demi kata hingga menjadi tulisan. Meski dulu, guru-guru saya itu mendidik dengan keras, rasa hormat saya diatas segalanya.
Kata orang, Matematika itu sulit, namun bagiku mudah. Guru Matematika semasa SD kebetulan marga Nainggolan, beliau tidak galak. Satu kalimat beliau yang membuat saya tersadar, "Cuma kaulah anak Nainggolan Polisi yang paling bodoh". Apakah saya marah, merajuk, atau cabut les ketika jam pelajaran Matematika?. Oh tidak Ferguso, jangankan marah, merajuk saja nggak zamannya, yang ada saya malah makin serius belajar, dan ilmunya berkah. Dimasa SMP, guru Matematika marga Sianipar, tinggi 180 Cm, galaknya nggak ketulungan. Murid-murid cemas ketika beliau masuk, namun tetap hormat. SMA, guru Matematika marga Siregar, nggak galak, tapi tidak begitu respek dengan siswa yang tidak serius belajar, termasuk saya. Sebab, saya malah lebih menyukai pelajaran Fisika, dengan sosok guru humble, Pak Aritonang, sebutannya pak AAR. Tibalah di jenjang perguruan tinggi, saya terkesan dengan dosen Akuntansi pak Panggabean. Dengan posisi sebagai Wakil Komisaris Tingkat, beliau sering mengamanahkan tugas, dan sayangnya saya sering terlambat masuk. Apa reaksi pak Panggabean? Beliau hanya tersenyum sambil melorotkan kacamatanya, satu tatapan seribu makna. And then, saya nggak pernah lagi terlambat masuk.
Dari berbagai kisah selama menjalani masa-masa belajar, tak satupun guru/dosen yang memposisikan diri sebagai dewa. Mendengar curhatan teman-teman yang sebagian besar memiliki masalah dengan anak didik, karena intervensi berlebihan oleh orang tua, membuat saya miris. Jika anak dididik dengan baik, diperlakukan adil, diajari adab, maka kelak anak tersebut akan melakukan hal yang sama pada orang lain. Tentu saja, ini bukan hanya tugas guru semata, orang tua juga harus ikut mendidik anak dirumah. Untuk itu dibutuhkan komunikasi yang sehat dan terbuka antara guru dan orang tua, agar perkembangan anak terpantau dengan baik.
Apa jadinya jika siswa yang pernah kita didik, menjejali kita dengan teori beracun, yang mengatakan bahwa guru adalah dewa?. Secara adab terhadap guru, maka hal itu menjadikan hubungan antara siswa dan guru terganggu. Tidaklah pantas seseorang menceramahi gurunya (Mantan gurunya) dengan berbagai teori pendidikan, sementara sang guru telah lebih dulu makan asam garam dunia pendidikan. Terlebih ketika guru tersebut memiliki kualifikasi pendidikan yang bagus dan masih diatas kualifikasi mantan siswa. Tidak juga pantas ketika seseorang meninggikan suara di depan guru (Mantan guru), meski mantan siswa memiliki posisi/jabatan yang lebih tinggi. Jangan sampai teori-teori beracun yang belum teruji secara keilmuan, bahkan ditelusuri lewat Oppung google juga nggak ketemu.
Andai rekan guru menemukan hal seperti diatas tadi di dunia maya maupun di dunia nyata, itu artinya kepakaran anda sedang diuji. Andai rekan guru menemukan mantan siswa bersikap jumawa, memandang anda sebelah mata karena dia naik roda empat sementara anda masih naik roda tiga (becak), bersabarlah. Mungkin mantan siswa tersebut sedang euphoria dan lupa bahwa tukang parkir saja nggak sombong setiap hari dititipi berbagai jenis mobil. Akhirnya, jika mantan siswa anda pura-pura tidak mengenali atau buang muka ketika papasan, skip saja, anggap tidak pernah kenal. Masih ngotot mengatakan bahwa guru adalah dewa?, kalau iya, tolong suhu, jadikan saya muridmu.
Salam kewarasan, sehat jiwa-raga, salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H