Mohon tunggu...
Chrisma Juita Nainggolan
Chrisma Juita Nainggolan Mohon Tunggu... Guru - Emak berliterasi

Guru ekonomi SMAN 1 Kualuh Selatan, Labura Sumut

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan yang Mengantarkan Keselamatan dan Kebahagiaan

5 Agustus 2022   23:05 Diperbarui: 5 Agustus 2022   23:10 23713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila berbicara tentang pendidikan tidak akan ada habisnya, sebab itu maka disebut pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan dianggap sebagai dua mata uang yang berbeda, serba kompleks sekaligus juga sederhana. Sejatinya, anak dididik sejak dalam kandungan, lahir dan kemudian tumbuh kembang sesuai dengan didikan yang diterapkan dalam keluarga. Maka peran pendidikan yang paling utama adalah di tangan keluarga. Namun mengapa ada kecenderungan pihak orang tua menganggap bahwa sekolah memiliki tanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak mereka?.

Terlepas dari segala teori pendidikan yang masing-masing memiliki keunggulan, maka kita sepakat bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru. Dibutuhkan kerjasama dan kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk mewujudkan lingkungan pembelajaran yang optimal bagi siswa. Mari kita telisik apa dan bagaimana pendidikan yang mengantarkan keselamatan dan kebahagiaan.

A. Mengantarkan murid selamat dan bahagia

Ketika orang tua mengantar dan menyerahkan anak ke sekolah, mereka berharap bahwa di tangan guru (Pihak sekolah) anaknya akan mendapatkan berbagai jenis ilmu pengetahuan. Sekolah dianggap sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak mereka. Maka ketika anak bermasalah atau tidak mampu meraih prestasi seperti harapan orang tua, tudingan diarahkan ke pihak sekolah. Sebaliknya, sering juga kita dengan jika anak berprestasi, ada kecenderungan orang tua mengklaim bahwa si anak memang sudah memiliki "Gen pintar" dari orang tuanya. Kalau sudah begini, dimana titik temunya?.

Fungsi pendidikan untuk mengantarkan siswa selamat dan bahagia. Ketika guru menyampaikan materi pelajaran dengan metode ceramah saja, maka ada kemungkinan suasana belajar tertib, tanpa gangguan suara lainnya. Namun apakah siswa kita mampu menyerap pelajaran dengan baik dan nyaman dengan metode tersebut?. Zaman sudah berubah, dulu kuda gigit besi, sekarang kuda makan roti (Sekadar pemisalan). Perspektif pendidik tidak selalu sama dengan perspektif siswa.

Tidak jarang siswa merasakan kebalikan dari apa yang dirasakan oleh guru. Ketika guru merasa cocok dengan metode ceramah, maka ada siswa yang merasa bosan dan kurang tertarik. Guru tidak boleh membatasi sumber belajar yang digunakan oleh siswa, karena jika dibatasi/ditentukan, maka siswa merasa terkekang bahkan ketakutan. Hal seperti inilah yang tidak memerdekakan siswa.

Sebagai pendidik, sebaiknya tidak hanya memberikan pengetahuan dan informasi saja. Pendidik juga harus memberikan pemahaman tentang fungsi dan kegunaan materi pelajaran dalam kehidupan. Disamping itu, pendidik juga sebaiknya mampu memahami dan mengenali kekuatan kodrat anak. Dengan artian bahwa setiap anak dapat mengekspresikan dan membuat pemahamannya sendiri dengan cara yang berbeda.

Demikian halnya dalam melakukan penilaian, pendidik sebaiknya tidak hanya menggunakan satu jenis alat pengukuran lalu menyimpulkannya. Penilaian dapat dilakukan dengan alat pengukuran lainnya yang melibatkan siswa, untuk merefleksikan pemahaman dari pengalaman belajar dan evaluasi diri. Maka sesungguhnya fungsi pendidikan itu adalah mengantarkan siswa agar siap hidup dan memberikan kepercayaan bahwa di masa depan merekalah yang akan mengisi zamannya. Mereka tidak cukup hanya hidup untuk kepentingan dirinya, jangan sampai individualistik.

Di masa depan, anak didik kita akan berkontribusi untuk masyarakat dan lingkungan dimana dia berada. Bersama-sama mereka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup. Jika harapan ini terwujud, maka fungsi Pendidikan akan berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara. Untuk itu, maka kita sebagai pendidik harus memahami beberapa hal, yaitu:

a.       Setiap siswa memiliki kodrat kekuatan/potensi-potensi yang berbeda

b.       Pendidikan hanyalah sebagai tuntunan

c.       Mendidik adalah menuntun siswa untuk selamat dan Bahagia

d.       Pendidik tidak dapat berkehendak atas kodrat kekuatan atau potensi siswa

e.       Pendidik dapat memberikan daya upaya maksimal untuk mengembangkan akal budi pekerti siswa

f. Pendidik membantu mengantarkan siswa untuk merdeka atas dirinya sendiri untuk kehidupan dan penghidupannya, memelihara dan menjaga bangsa dan alamnya

Kemerdekaan siswa merupakan kunci pokok untuk mencapai tujuan pendidikan yang mengantarkan keselamatan dan kebahagiaan. Pertanyaannya, apakah praktik pembelajaran saat ini benar-benar mempersiapkan anak didik agar siap hidup dan mengisi zamannya?.

B. Menciptakan lingkungan pembelajaran terbaik murid

Ada sebuah pemahaman, jika semakin tinggi nilai angka yang diraih siswa, maka semakin tinggi pula tingkat kepintaran. Sebaliknya, jika semakin rendah nilai angka, maka semakin dianggap tidak pintar atau tidak cerdas. Kedua sisi berbeda tersebut dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa, hingga cenderung fokus pada upaya agar mendapatkan nilai tinggi dari guru. Sehingga, siswa akan bersaing dan berkompetisi dengan teman-temannya.

Selain itu, sistem perangkingan kelas juga menjadi salah satu pengaruh motivasi belajar siswa. Jika penilaian dilakukan dengan keberpihakan pada siswa, tentulah membawa hasil yang baik. Namun jika guru belum memahami prinsip berpihak pada siswa, maka siswa yang berada pada ranking terbawah atau nilai terendah, akan merasa terpojok.

Jika kecenderungan untuk mengandalkan nilai ujian (Sumatif/evaluasi lainnya), tanpa didasari atas pemahaman tentang penilaian itu sendiri, bisa menjadi boomerang. Seyogyanyalah guru memperhatikan dan mengikuti proses demi proses yang dilalui siswa. Sehingga, penilaian tidak lagi melulu berdasarkan nilai ujian/sumatif. Seiring dengan proses yang dilalui siswa, maka guru juga dapat melakukan evaluasi dan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Hingga, guru mampu merefleksikan program pembelajaran yang disusun agar lebih baik.

Budaya yang selama ini kita lakukan adalah pemberian nilai dengan angka dan peringkat kelas, bisa dirubah dengan sistem penilaian dan apresiasi. Tujuannya adalah agar harkat dan martabat anak tetap terjaga. Penilaian atau pengukuran dimaksudkan untuk mengukur hasil atau dampak dari implementasi pembelajaran dari sudut pandang siswa. Sehingga, siswa sebagai pusat pembelajaran benar-benar dapat terwujud, tidak sebatas jargon semata.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan guru agar siswa menjadi pusat pembelajaran diantaranya:

a.       Membimbing siswa untuk membangun koneksi dan konteks belajar terhadap dirinya sehingga ia mampu menentukan tujuan belajarnya

b.       Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan menyenangkan, sehingga siswa berani bertanya dan mengemukakan pendapat

c.       Mendorong siswa untuk mengembangkan keterampilan kerjasama dan gotong royong membantu siswa lainnya yang mengalami kesulitan belajar

Jika Langkah-langkah tersebut dapat dilakukan guru dengan baik, maka siswa tidak hanya mendapatkan kecerdasan pikiran, tetapi juga dapat mengembangkan kecerdasan sosial emosional. Hal ini dapat terwujud melalui pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhannya. Pendidikan karakter sama pentingnya dengan kecakapan kognitif, sehingga harus seimbang. Dengan demikian, tidak boleh mengabaikan kecakapan karakter demi memprioritaskan kecakapan kognitif.

Karakter yang dimiliki siswa sangat beragam, sesuai dengan lingkungan yang mendidiknya sejak kecil. Maka, bagaimana caranya agar karakter yang dimiliki siswa mampu membawa kemanfaatn besar bagi masyarakat dan bangsanya kelak?. Peran guru adalah jawabannya, agar siswa memiliki karakter sesuai dengan karakter khas bangsa Indonesia yang didasarkan atas kodrat sebagai makhluk sosial. Gotong royong merupakan karakter penting yang dapat ditemukan siswa lewat pengalaman belajarnya.

Sebagai guru, kita dapat mendampingi siswa agar mereka mampu menemukan dan menumbuhkan karakter baik sebagai bekal kehidupannya kelak. Hal ini juga merupakan bagian dari kebudayaan bangsa kita. Guru, sebagai orang dewasa, hanya dapat membimbing siswa untuk memunculkan karakter-karakter yang menurutnya sesuai dengan nilai dan prinsip yang diyakininya.

Apakah kita sudah memahami bahwa mengajar dan mendidik adalah bagian dari kebudayaan?. Apa yang dapat kita lakukan agar dapat berkontribusi membentuk budaya bangsa yang kuat dan menjunjung nilai-nilai luhur kemanusiaan?. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun