Citayam, sebuah kota kecil yang berada diantara kota Depok dan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, tiba-tiba viral.. Dengan mengenakan busana yang kemudian dikenal dengan Citayam Fashion Week (CFW), anak-anak muda tumpah ruah di kawasan Sudirman untuk beradu outfit. Menilik usia yang rata-rata masih belasan tahun, dari manakah remaja ini mendapatkan uang untuk membeli busana dimaksud?
Menurut pengakuan mereka, sebagian diantaranya mengumpulkan receh demi receh dari hasil mengamen, hingga cukup untuk membeli busana yang dilabeli dengan konsep warna monokrom, hitam, putih, dan abu-abu. Selain itu, dilengkapi dengan rokok elektrik (Vape), topi, jaket, hoodie dan pernak-pernik lain khas anak muda. Bagi yang memiliki kocek tebal, tentu tidak perlu bersusah payah untuk membeli busana sesuai selera dan daya beli.
Awalnya, CFW viral karena maraknya konten di salah satu aplikasi untuk membuat dan menyebarkan video pendek. Hal yang merupakan alasan utama maka anak-anak muda tersebut memenuhi kawasan Sudirman, yakni ingin terkenal dan viral. Bahkan secara terang-terangan menyebut, ingin menghasilkan uang dengan menjadi konten creator. Lantas, kenapa harus ke Sudirman? Jawabannya, kawasan Sudirman merupakan ruang publik, sehingga siapa saja bebas berekspresi. Karena anak-anak muda tersebut membuat konten berlatar fenomena CFW.
Sepertinya, anak muda kita saat ini benar-benar butuh ruang publik, yang jauh dari riuh rendahnya mesin-mesin pabrik, bangunan-bangunan kokoh menjulang tinggi nan angkuh, lalu lintas yang super padat, serta berjejalnya warga di pemukiman (Kumuh). Maka, mereka mencari jalan keluar, menerobos sekat-sekat, hingga akhirnya muncullah fenomena baru, CFW. Sedemikian pentingnya ruang publik (Hijau) bagi warga, maka sudah selayaknyalah fenomena ini dijadikan sebagai langkah awal untuk menyediakan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh publik, terutama bagi anak muda.
Jika disatu sisi kita memahami keinginan anak muda untuk memiliki ruang publik sebagai tempat berekspresi, maka ada sisi lain yang harus dicermati. Ketika anak-anak muda beradu fashion dengan cara melenggak-lenggok ibarat di catwalk, maka kelompok lainnya akan memberi applaus plus ejekan. Applaus bagi yang outfitnya keren ( Bagi CFW, outfit keren itu malah kembali ke mode busana tahun 90-an, dengan gaya oversize, yakni gedombrohan). Sebaliknya, ejekan buat yang outfitnya tidak sesuai selera, maka akan muncul suara-suara bernada huuuu serta acungan jempol kebawah. Maka, kondisi ini bisa berpotensi menyulut pertikaian antar kelompok, meski mereka berasal dari daerah yang sama.
Selain itu, fenomena yang agak menggelikan juga muncul ketika anak-anak muda tersebut mengaku, tujuan mereka adalah untuk mencari pacar. Bahkan ada yang gonta-ganti pacar, kemudian buat konten yang dipermanis dengan caption, berharap supaya viral. Padahal usia masih belasan, bukankah seharusnya mereka masih duduk dibangku sekolahan?.
Keluhan datang dari para pekerja yang harus melewati jalan tersebut ketika pulang kerja. Karena anak-anak muda tadi duduk bergerombol memenuhi jalan, maka tak ayal cukup mengganggu mobilitas para pekerja. Tak jarang mereka risih juga dengan perilaku anak muda yang bertingkah bagai Romeo dan Juliet, sambal jepret sana sini, demi sebuah konten. Pola hidup permisif telah dipertontonkan secara perlahan.
Namun demikian, sisi lain dari CFW ini membukakan mata kita, bahwa efek pandemi selama tiga tahun ternyata berdampak besar terhadap perilaku remaja. Faktanya, ketika level PPKM semakin menurun, segala potensi dan energi yang tidak tersalur selama ini harus menemukan jalan keluar. Jika salah arah, maka timbul masalah baru yang akan mendegradasi moral. Kita menyadari, anak muda sekarang ini terkesan lebih cuek, etika menurun, bahkan semakin abai terhadap tanggung jawab kepada diri sendiri.
Untuk fenomena seperti CFW ini, di setiap daerah tentulah memiliki spot-spot khusus bagi anak muda. Bagi daerah kami, Labuhanbatu Utara, Sumut, salah satu tongkrongan paling asyik bagi anak muda adalah warung Kopteng, kopi setengah. Disebut kopteng karena kopi yang disajikan hanya setengah gelas. Disana, anak muda bebas memakai wifi hingga limit waktu tak terhingga, hanya bermodalkan belasan ribu rupiah. Efek negatifnya? Salah satunya adalah kami para emak kewalahan membangunkan anak untuk sholat subuh, karena mereka tidur jelang subuh. Apakah ini termasuk curhatan seorang emak atau tidak, saya tidak yakin. Namun yang saya yakini, saya tidak sendiri, ada banyak emak-emak yang harus menaikkan volume dan oktaf suara ketika membangunkan anak lelakinya dikala subuh.
Minum sekoteng diterik cuaca