Tergelitik melihat postingan alumnus, berita viral seorang guru yang tidak dikenali siswa. Sang guru berkisah, ketika bertemu dengan seseorang yang notabene adalah siswa semasa SMA. Sang guru menyapa alumnus, sebut saja Toni, sembari menyebut nama, meyakinkan bahwa beliau tidak salah orang, karena Toni menjawab, "Siapa ya?".
Miris tidak? Ya, miris sekali. Toni yang pernah beliau bimbing ( Sang guru merupakan wali kelas Toni ), malah melempar pertanyaan yang membuat kita terperangah. Nah, apa sebenarnya yang telah terjadi?.Â
Berbagai komentar netizen bermunculan, maklum, sebab netizen maha benar. Ada yang menyebut bahwa sebagian besar guru hanya mau beramah-ramah dengan siswa yang pintar, yang orang tuanya berada, dan seterusnya. Dan sebagian lagi menyalahkan siswa yang kurang beretika, karena responnya sangat diluar dugaan.
Salah siapa ya?. Tidak ada yang harus disalahkan, karena kalau mau kita nilai dari berbagai sudut pandang, semua pihak akan membenarkan diri. Benarkah tudingan bahwa ada guru ( Oknum ) yang diskriminatif terhadap siswa? Anda bisa jawab sendiri, berdasarkan pengalaman. Namun, yakinlah, masih banyak guru yang mampu memperlakukan anak didik dengan baik, meski berbeda status sosial dan berbagai status lainnya.
Pengalaman menjadi guru plus wali bagi " kelas-kelas yang tak dianggap ", membuat saya memahami curhatan guru yang menjadi viral tersebut. Sebab, sangatlah manusiawi ketika guru ingin tetap dikenal dan dikenang oleh siswanya, terlebih ketika siswa tersebut sudah menjadi orang sukses.Â
Meski, tidak ada keharusan bahwa siswa sukses wajib mengenali guru. Karena, ternyata siswa yang kurang sukses secara ukuran finansial dan karir, juga banyak yang tetap mengenali guru-gurunya.
Berhadapan dengan siswa/kelas unggul, berbeda sensasinya dengan kelas minus. Kelas plus/Ipa biasanya tenteram, penuh aroma persaingan, dan aktif belajar.Â
Kelas minus selalu riuh rendah, penuh sorak sorai bahkan tepuk tangan, meski kurang jelas tepukan itu untuk apa. Maka, metode mengajar di kelas plus sebaiknya berbeda dengan kelas minus.
Sebenarnya, apa sih yang ingin dicapai lewat pembelajaran di sekolah?. Hanya selembar ijazah, rapor, berbagai sertifikat juara, dan berbagai bukti pengakuan lainnya?.Â
Cukupkah kertas-kertas tersebut menjadi menjadi bekal bagi anak didik untuk hidup berinteraksi dengan baik kelak di tengah-tengah masyarakat?.Â
Saya pikir, kita sudah tahu jawabannya, yang intinya adalah prestasi akademik tidaklah menjamin kualitas interaksi sosial. Lantas, kondisi siswa sukses yang jelas-jelas tidak mengenali guru, plus wali kelasnya, tanggung jawab siapa?