Mohon tunggu...
Irawan Irawan
Irawan Irawan Mohon Tunggu... Desainer - Irawan suka menulis

Orang Jawa yang kreatif bekerja di bidang per internetan di Australia yang selalu ingin menuangkan kreasinya hanya untuk hobi saja. Selalu bangga dengan ke-Jawaannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Medok, Aksen, dan Ngapak: Sebuah Gengsi?

1 Februari 2010   00:46 Diperbarui: 4 April 2017   17:10 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi orang yang tidak terbiasa dengan bahasa Ngapak, bahasa ini akan terdengar lebih cepat dan agak mbingungi untuk didengarkan serta terkesan lucu. Memang. Tapi ada rasa puas tersendiri ketika berbicara dengan menggunakan bahasa Banyumasan ini baik disadari atau tidak. Mungkin karena saya bukan aseli Banyumas, tapi sudah 21 tahun menggunakan bahasa ini, saya jadi punya perbandingan dan bisa melihat dari luar. Ketika pertama kali mendengarkan orang berbicara dengan bahasa ini pada umur 10 tahun, saya hampir tidak bisa mengikuti artinya dan sedikit sedikit bertanya artinya. Sekarang, dialek ini selalu menempel di lidah saya. Pada awalnya ibu saya sempat melarang menggunakan bahasa ini karena terkesan ndesani apalagi kalo berbicara pake kata ‘nyong-nyong’ yang kalo dilihat atau didengar oleh orang Jawa Tengah bagian Timur dibilang wong ndeso. Saya jadi mengerti kenapa Ibu saya ngendiko seperti itu setelah berbincang dengan tokoh budaya Banyumas Ahmad Tohari beberapa bulan yang lalu.

Saya sedikit lupa detailnya tapi intinya beliau menceritakan ke saya bahwa pada jaman kerajaan dulu, daerah banyumas termasuk daerah Mancanegara dan daerah Wetan termasuk daerah kerajaan. Mancanegara maksudnya adalah daerah luar kerajaan atau daerah rakyat biasa, atau disebut daerah kampong. Oleh karena itu bahasa Mancanegara ini agak sedikit beda dan terkesan kasar.

Bukan berarti saya menilai bahasa ini bahasa yang tidak disarankan untuk dipakai, tapi malah justru sebaliknya. Saya cinta sekali dengan bahasa ini. Mungkin kalau orang tidak tahu latar belakang saya mereka mengira saya berasal dari desa sekali yang jauh dari terminal bis atau mall karena bahasa yang saya pakai kental sekali bahkan kadang bikin orang tertawa. Kepuasan yang saya sebutkan lebih awal ketika berbicara Ngapak adalah perasaan lepas (los) dan ngomong apapun sepertinya enak. Ada teman saya yang sudah sekitar 10 tahun lebih tidak ketemu dan barusan ketemu di facebook malah bilang :"Nyong nek ora ngapak cangkeme pegel Wan."

Nah, poin saya disini bukan tentang saya atau cara saya berbicara Ngapak tapi tentang bahasa ini ditinjau dari pengguna yang sudah melanglang buana keseluruh dunia.

Jakarta

Saya yakin kehidupan kota Jakarta banyak orang gengsi menggunakan bahasa ini di tempat umum, meskipun tidak semua orang, tapi memang dari pengalaman saya kenal orang Jakarta sangat gengsi mengenai bahasa dan dialek. Lihat saja, beberapa orang yang beberapa hari atau minggu di Jakartadengan sekuat tenaga akan menghilangkan aksen ngapaknya diganti dengan “Lu-Gua”. Atau anak anak muda di sekitar banyumas sudah cenderung menggunakan kata kata wagu itu di daerah mereka. Jadi ingat teman saya yang sok kejakarta jakartahan di warung makan pas lagi sama teman dari Jakarta biliang ke penjual makanannya :” Bu gua tambah dong, tapi duduhnya dowang”. Waiks! Kedengaranya si keren tapi duduh kan harusnya kuah Dul. Salah satu hal yang saya tidak suka dari Jakarta adalah gengsi yang tidak beralasan tentang bahasa atau aksen. Udik dibilangnya kalo ngomongnya beraksen ngapak, kecuali memang mau berdagelan di TV seperti Parto ato Cici Tegal. Entah perkembangan beracu dari mana saya juga tidak mengerti. Yang penting jangan sampai kita malu dengan bahasa kita sendiri. Kalau di mailinglist si saya bisa mengerti karena memang kalangan sendiri, tapi kalau diluar?

Wetan (Solo, Jogja dan sekitarnya)

Pernah saya baca artikel di Suara Merdeka tentang bahasa Banyumas yang ditertawakan oleh orang orang dari daerah Wetan, Solo, Jogja dan sekitarnya yang pada akhirnya memaksa perantau yang tinggal di daerah ini untuk menyesuaikan diri bukan karena tidak dimengerti tapi karena malu. . Mengingat sejarah seperti yang saya kemukakan, bisa dimengerti. Budayawan yang menulis ini menyayangkan fenomena ini dan ingin mengajak generasi muda untuk tidak malu pakai bahasa Ngapak. Kalau bukan kita siapa lagi? Mungkin bahasa ini bisa jadi punah sebelum beruang putih di kutub kalau ini dibiarkan terjadi. Tapi seperti orang bilang di filem filem: “Apa yang terjadi bukan berarti itu yang seharusnya terjadi.”

Luar Negeri (Aksen)

Berbicara tentang menghilangkan gengsi, saya jadi tambah tidak mengerti dengan anggapan udik orang orang Jakarta tentang Kemedokan ini. Kalau kita perhatikan bahasa Inggris di Tivi Tivi atau filem filem, bahasa Inggris bukan dari Inggris saja. Aksen dari berbagai Negara tidak bisa dihilangkan hanya dengan beberapa tahun saja. Contoh paling kentara adalah Italia, Valentino Rossi, contohnya, ketika dia diwawancarai di press conference bahasa Inggrisnya Italia sekali dan orang tidak ada yang mempermasalahkan dengan itu, justru mereka menganggap seperti menempelkan bendera negaranya ketika berbicara meskipun pakai bahasa Internasional. Atau tadi barusan ketika menonton final TenisAustralia terbuka, Presiden KIA Motors memberikan sambutannya dengan bahasa Inggris yang sangat Asiasekali dan tidak ada orang yang mentertawakan. Asal, dengan grammar dan pronunciation yang benar. Aksen tidak bisa hilang. Banyak teman teman di Australia pun dialeknya masih kental sekali, Jerman, Yunani, Italia, Afrika Selatan dan Ngapak. Justru perbedaan itu yang membuat dunia ini tetep berputar. Tidak lupa menyebutkan negara maju seperti Jepang, Prancis atau Jerman yang tetap menggunakan bahasa dan dialek mereka kemanapun mereka. Jepang lebih sadis lagi, tidak perduli dengan turis yang tidak bisa bahasa Jepang, mereka memasang rambu rambu lalu lintas semua dengan tulisan mereka sendiri seperti yang saya tonton di Top Gear, jadi ketika navigasi berbahasa inggris di mobilnya mati, tidak tahu bakal kemana karena semua rambu memakai bahasa Jepang, saya tidak tahu persisnya karena belum pernah kesana tapi setidaknya seperti itu gambarannya. Saya ada teman dari Cilacap yang sedang kuliah di Darwin dan setiap ketemu pasti Ngapak-ngapak. Biar tidak bosan ngomongnya was wis wus wes wos terus.

Salah satu tujuan saya membangun website ini juga untuk melestarikan bahasa Ngapak dengan terjemahan ke bahasa Indonesia dan Inggris. Sayangnya hurufjawa kita sendiri tidak begitu popular digunakan dalam kehidupan sehari hari seperti di Cina, Jepang atau Ruski. Semoga saja niatan baik saya ini bisa membantu melestarikan dan menghilangkan kegengsian generasi muda untuk menggunakan bahasa mereka sendiri tanpa dipengaruhi oleh orang orang yang tinggal di sekitar gedung tinggi dan berpolusi.

Artikel lain di goleti.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun