Harus diakui bahwa Kompasiana saat ini menjadi (satu-satunya, eh) media masyarakat berpendapat. Apa pun bisa dibahas di sini, dan siapa pun bebas berpendapat. Sangkin bebasnya, Admin Kompasiana sudah menyatakan dengan tegas di awal, bahwa konten sepenuhnya merupakan tanggung jawab Penulis.
Kebebasan yang sudah diberikan oleh Admin tadi seharusnya disikapi dengan bijak oleh setiap Penulis di Kompasiana. Sudah seharusnya setiap Penulis menjaga kebebasan ini dengan penuh rasa tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri, maupun terhadap orang lain.
Meskipun demikian, saya masih sering heran membaca tulisan yang kontennya selalu dipenuhi dengan pikiran-pikiran negatif. Kalau boleh saya mengistilahkan "menuduh tanpa fakta dan bukti". Setelah heran, akhirnya timbul rasa kasihan bagi si penulis. Kok bisa ya, sambil menulis tapi otaknya selalu dipenuhi dengan pikiran-pikiran negatif?
Saya sama sekali tidak anti dengan tulisan yang membahas atau mengkritik seseorang Tokoh atau Pejabat atau Public Figure (selanjutnya mari kita singkat dengan PF). Bahkan, jika memang itu adalah fakta, adalah hal yang wajar untuk dibahas di Kompasiana. Syukur-syukur, bisa dibahas dari berbagai sudut pandang. Bisa menambah wawasan. Kita pun bisa mengambil hikmah atas peristiwa yang sedang menimpa PF tadi.
Tapi, ketika ada orang yang selalu mengirim artikel di Kompasiana ini yang kontennya cenderung selalu menyerang/memojokkan/melecehkan PF tadi, bahkan sampai berharap supaya PF itu dipenjara, akhirnya timbul rasa "eneg". Mengapa eneg? Karena tuduhan terhadap PF tadi sampai sejauh ini sama sekali tidak terbukti. Dari rasa "eneg", akhirnya timbul rasa kasihan.
Sambil membuat tulisan ini, saya pun penasaran. Saya menelusuri artikel-artikel yang pernah ditulis oleh di penulis tadi di Kompasiana (tidak perlu saya sebutkan namanya). Hampir semua isi tulisannya memojokkan PF tadi. Sampailah juga akhirnya saya menemukan salah satu artikel, yang isinya berupa curhat yang bersangkutan, karena ditegur Admin.Â
Isi dari teguran Admin memperingatkan supaya si penulis tidak merendahkan/memojokkan/menyerang seseorang khususnya terkait dengan unsur SARA. Yang lucunya, si penulis merasa tidak bersalah, dan justru menanyakan kenapa dia ditegur, sementara yang lain tidak? Persis seperti ketika seorang pelanggar lalu lintas yang ditilang Polisi, lalu dia menyalahkan Polisi mengapa orang lain tidak ditilang?
Yang lebih lucunya lagi, salah satu pernyataannya di artikel itu mengatakan bahwa dia memaki PF karena ada orang lain yang memaki tokoh pujaannya. Bukankah dari sini saja dia sudah mengakui bahwa perbuatannya itu memang salah? Bukankah seharusnya keburukan dibalas dengan kebaikan?
Nah, dari situ saya mencoba mengambil kesimpulan (mudah-mudahan kesimpulan saya ini salah): Berdasarkan kondisi tadi dan koleksi tulisan-tulisannya, ditambah lagi Admin yang sudah menegur sampai sejauh itu, lalu yang bersangkutan tetap merasa tidak bersalah, apakah itu membuktikan bahwa isi otak (maaf) penulis yang saya maksud itu selalu dipenuhi dengan pikiran negatif?
Bukankah jika kita ditegur, maka kita tidak buru-buru menyalahkan orang lain? Bukankah sebaiknya kita menerima teguran itu, sambil tetap introspeksi dengan diri kita sendiri? Bukankah dengan teguran itu seharusnya kita memperbaiki diri? Bukankah seperti itu seharusnya yang kita lakukan?
Kasihan saja melihatnya, jika otak si penulis selalu dipenuhi dengan pikiran negatif dengan memojokkan PF. Lagi-lagi, kalau itu terbukti mungkin bisa kita maklumi. Tapi ketika hal itu sama sekali tidak terbukti, yang ada malah perasaan kasihan yang teramat sangat tertuju kepada si penulis.Â