Benarkah begitu?
Tidak, sob. Ternyata Susi dalam waktu berdekatan mengunggah cuitan bernada kritik kepada pihak-pihak yang gemar menunggangi ceramah keagamaan dengan muatan provokatif.
Bebrapawaktu ini di tengah pandemic kita banyak mendengar ceramah keagamaan yg provokatif yg mengganggu kenyamanan, kita juga sering mendengar vlog2 yg juga countering sebaliknya. Saling hujat, membully perbedaan dll. Saya pikir sudah saatnya kita bicara untuk ayo menghentikan ..
Begitu bunyi twit-nya pada 29 Januari lalu.
Hmmm, ceramah keagamaan? Kira-kira kepada siapa materi cuitan itu tertuju? Bukankah hal yang sama kerap muncul dari kalangan anti oposan? Jangan ngompol (ngomong politik) di masjid lah, jangan kotori tempat ibadah dengan cacian dan hujatan lah, atau ungkapan-ungkapan serupa lainnya.
Entah karena tak diviralkan atau karena alasan lainnya, unggahan itu sama sekali tak berbuah riak, gelombang ataupun tuduhan sebagai cebong, berudu, liberal, munafik atau yang lainnya kepada Susi.
Dengan dalih mengkritik penguasa, mimbar-mimbar keagamaan dijadikan tempat untuk melancarkan tudingan miring kepada pihak yang berlawanan. Mereka yang seharusnya membimbing umat dengan menyampaikan kebaikan melalui cara yang baik kadang justru terjungkal dalam kubangan fitnah dan provokasi.
Dan lanjutannya pun bisa ditebak. Kultur masyarakat kita yang menempatkan para pengkhotbah sebagai pembawa kebenaran akan memberikan legitimasi bagi setiap kalimat yang terlontar. Baik yang 100% benar, separuh benar atau bahkan kekeliruan yang berasal dari dugaan-dugaan yang berdasar dari pemberitaan parsial. Sungguh sebuah pendegradasian peran spiritual.
So, mari unfollow Abu Janda dan Tengku Zulkarnain.. eh?!!
Baca juga:Â Ada Wahabi di Balik Cuitan Abu Janda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H