Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Film G30S/PKI? Dibuat Ulang Saja

29 September 2020   00:05 Diperbarui: 30 September 2020   17:54 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Betapa kecewanya Mas Arifin sebagai sang sutradara ketika melihat hasil akhir keseluruhan film yang dibuatnya sendiri itu. Sebab, berdasarkan pengakuannya, sebagai sutradara film ternyata dia telah dipaksa tunduk pada seorang sutradara politik yang bertindak sebagai pengarah film sesungguhnya," kata Eros Djarot saat mengungkapkan perasaan Arifin C. Noer terhadap film yang disutradarainya, Pengkhianatan G30S/PKI.

Karya yang Disesali?
Pengakuan Eros Djarot di atas seolah hendak membuka tabir akan adanya aktor intelektual di balik lahirnya film legendaris di zaman Orde Baru itu. Aktor itu bertindak sebagai pengarah yang sebenarnya di balik keberadaan Arifin sebagai sutradara film tersebut.

Sosok the Smiling General, Soeharto, menjadi begitu ikonik dalam plot cerita perlawanan terhadap kudeta berdarah PKI. Sosok yang pada saat revolusi 1998 meletus diturunkan paksa dari tampuk pemerintahan itu, kini digaungkan oleh sebagian orang sebagai penyelamat negara dari rongrongan penganut komunisme. 

Terlepas dari kondisi politik pada saat itu, pengabadian kisah kelam tahun 1965 dari sudut pandang tunggal patut dipertanyakan validitasnya. Unsur subyektivitas pantas ditengarai memiliki kontribusi besar di dalamnya.

Meski dikatakan sebagai sebuah karya pesanan, masih ada "pembelaan" yang datang dari orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan film itu terhadap rejim Orde Baru.

Baca juga : Ulama Satu Ini Mengaku Heran dengan Sikap Syekh Ali Jaber

Salah satunya dari adik kandung sang sutradara sendiri, Embi C. Noer. Ia yang terlibat sebagai penata musik, menganggap wajar jika ada arahan dari pemerintah dalam proyek itu. Sebab pemerintahlah yang bertindak sebagai penyandang dana dan pendanaan memegang peranan besar dalam menghadirkan sebuah karya.

Ia pun mengungkapkan bahwa sang kakak tidak pernah jadi "kacung" saat mengarahkan film berbajet 800 juta rupiah itu. Kendati mengakui bahwa film itu digunakan sebagai alat propaganda, rejim Orde Baru masih memberi kebebasan berkreasi bagi mendiang kakaknya sebagai sutradara.  

Bisa jadi perkataan Embi benar. Namun curhatan Arifin C. Noer dalam surat yang dikirimkannya ke Ajip Rosidi pada 10 Februari 1984 perlu juga ditelisik juga penyebabnya. 

Surat itu berisi keinginan Arifin untuk berhenti berkarya. Apakah hal itu benar terkait dengan kekecewaannya terhadap karyanya yang satu itu? Jika benar, mengapa Arifin perlu merasa kecewa terhadap hasil karyanya sendiri? 

Pandangan Alternatif Saksi Sejarah
Munculnya pengakuan pelaku sejarah yang berlawanan dengan visualisasi dalam film itu perlu dipertimbangkan sebagai sebuah sarana untuk "memperbaiki" sejarah. Salah satunya adalah pengakuan dr. Liauw Yan Siang dalam sebuah wawancara di Amerika Serikat. 

Ia adalah dokter yang mengotopsi para korban yang kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi itu. 

Baca juga : Jakarta PSBB Total? Nggak Apa, Sudah Biasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun