Andai akun Youtube saya berdayakan, mungkin saya bisa mendapatkan beberapa peser darinya.Â
Akun YouTube-ku Hibernasi
Tak terasa sudah 7 tahun lamanya akun YouTube itu saya buat. Tepatnya sejak Mei 2013. Hingga kini akun itu sudah mengumpulkan jumlah penonton yang tak banyak. Cuma sekitar 21 ribuan, hehe. Jadi kalau dirata-rata, per tahun cuma mengumpulkan 3000-an viewer. Jumlah konten yang ada pun tak kalah sedikitnya, hanya 6 buah.Â
Tapi baru-baru ini minat untuk memberdayakannya kembali muncul. Cuma bagi saya, saat ini media untuk menyebarkannya lebih terbatas. Selain itu saya pun merasa belum mampu membuat konten agar dapat menarik di mata viewers. Dulu saat Google Plus masih eksis, saya menjadi anggota dari beberapa grup yang beranggotakan netizen yang memiliki minat sama. Sehingga pasarnya lebih terarah.Â
Memang perlu waktu dan keseriusan agar dua  hal di atas bisa teratasi. Dan terus terang, terutama 'media distribusi' menjadi kendala utama. Sementara untuk membuat konten yang bener-bener cimik, saya juga perlu waktu khusus yang mana harus saya sisihkan dari waktu utama sebagai seorang pekerja kantoran. Aha, jangan-jangan work form home yang hingga kini diberlakukan oleh kantor adalah kesempatan  yang harus saya gunakan untuk melakukan improvement ya? Hmmm.. (mikir)
Youtube-isasi Artikel di Kompasiana? Bisa!
Beberapa waktu lalu, secara tak sengaja saya menemukan tulisan saya di Kompasiana dipakai sebagai narasi oleh sebuah channel di Youtube. Saat itu, si creator sama sekali tak mencantumkan sumber dari narasi yang ia gunakan. Adik saya yang mengetahui hal itu langsung saja memburu si pemilik konten. Nampak betul bahwa ia lebih mempedulikan hak cipta daripada saya. Sebab adik saya adalah seorang akademisi yang sudah menelurkan beberapa judul buku ilmiah yang sadar betul akan susahnya menelurkan sebuah tulisan.Â
Singkat cerita, si content creator akhirnya mengirim whatsapp ke saya dan menanyakan apakah video yang memakai artikel saya tanpa izin harus dihapus. Saya cuma bilang ke dia untuk mencantumkan sumbernya saja dan ia pun bersedia. Bagi seorang penulis, meski amatiran seperti saya, hal itu bagian dari etika. Istilah Jawanya kula nuwun dulu, jangan asal comot.
Ternyata setelah itu, beberapa artikel saya yang lain masih digunakannya sebagai narasi untuk konten-konten berikutnya. Dan kali ini dengan embel-embel nama saya tentunya. Jadi berasa penulis naskah tayangan-tayangan di Televisi itu euy.. hehe.
Namun ada perbedaan yang sangat mencolok antara artikel saya di Kompasiana dan Youtube-isasinya, yakni jumlah viewer-nya.Â
Jika di Kompasiana, jumlah viewers maksimal yang bisa saya raih untuk sebuah artikel hanya berkisar ratusan orang. Tapi di channel itu bisa mencapai belasan ribu! Bahkan salah satunya bisa mencapai 111 ribu! Lumayan ya. Meski masih kalah jauh dari jumlah viewers yang bisa didulang oleh para Youtuber kondang.Â