"Enak? Enak raimu,"Â kata mbak Endang menanggapi Badrun yang bilang kalau kerja di rumah alias work from home itu enak.
Work from Home, Antara Kerja dan Dikerjai Kondisi
Work from home menjadi sebuah jalan keluar bagi perusahaan yang tak mungkin berhenti beroperasi dalam kondisi darurat seperti saat ini. Meski sebenarnya work from home tak selalu identik dengan keadaan yang mencegah kehadiran seorang pekerja di kantornya karena bencana.
Saat masih bekerja di sebuah kontraktor kira-kira 15 tahun yang lalu, seorang teman yang berprofesi sebagai arsitek pernah bercerita mengenai rekannya yang seorang konsultan. Si konsultan, kata teman saya, bahkan tak perlu menyewa kantor untuk dapat menjalankan profesinya. Kerja di rumah saja bisa. Dan sarana komunikasi saat itu pun belum seberagam saat ini.
Jadi work from home sama sekali bukan hal yang baru. Bahkan bisa jadi jauh hari sudah dikenal model pekerjaan seperti itu.
Saat ini, dimana jangkauan pandemi yang begitu luas, work from home mau tak mau dilakukan oleh banyak perusahaan dengan bermacam permasalahan yang dihadapinya.Â
Kerja di rumah yang dijalankan sebagai solusi tentu tak luput dari bermacam kendala yang justru menjadi tambahan beban bagi para pekerja. Para pekerja kadang disambangi 'tekanan' yang justru tak berkaitan dengan pekerjaannya.
Kerja di Rumah, Apa Enaknya Sih?
'Mau tak mau' menjadi sebab utama dijalankannya skema ini. Daripada operasional perusahaan terhenti, yang buntutnya akan lebih buruk lagi, mending dijalankan sebuah skema yang bisa menggantikan aktivitas normal (kerja di kantor) meski tak 100% sempurna.
Dalam kondisi demikian, karyawan harus siap untuk menghadapi kerepotan tambahan selain sibuknya pekerjaan itu sendiri. Namanya skema darurat, mesti tak sesempurna kondisi normal.
Tempo hari, saat skema work from home di kantor saya masih dijalankan parsial -- karyawan diberikan jadwal masuk secara bergantian-- , ada seorang teman yang masuk kantor padahal hari itu adalah jadwalnya kerja di rumah.