Dulu, saat masih ditempatkan di Yogya, perasaan saya suka gundah. Apalagi saat harus melewati kompleks kampus UGM dengan sekian banyak mahasiswinya yang hanya 5 menit jaraknya dari kantor. Alasannya tak pelik-pelik amat. Saya masih jomblo.
Jomblo, Pilihan atau Bukan?
Bagi seseorang, jomblo bisa jadi sebuah pilihan. Itu jika mereka sedang berusia 10, 12 atau bahkan 16 tahun. Jika umur segitu mereka sudah boncengan apalagi pergi ke warnet barengan dan ketahuan orang tuanya, bisa jadi akan langsung dikenakan warning letter ke tiga.
Tapi jika sudah menginjak usia 20 sekian tahun, bisa jadi ada penyebab lainnya. Pertama, dia konsisten untuk tetap melajang sampai dilamar orang tanpa pacaran lama-lama (bagi seorang wanita) atau dia konsisten untuk tidak memacari wanita kecuali jika sudah siap untuk menikah.Â
Selain 2 hal tadi, bisa jadi disebabkan oleh faktor ke tiga. Yakni belum ketemu seseorang yang menurutnya cocok atau memang belum ketemu dengan alasan yang susah diungkapkan.
Saya sendiri bertemu dengan istri --saat itu masih calon-- beberapa tahun lalu di tempat yang ratusan kilometer jaraknya dari kampus UGM. Ya, masih dibawah naungan kantor yang sama, saya dipindahtugaskan ke Jakarta dan hampir mustahil buat nyari gebetan anak UGM.
Haseek.. Nggak jomblo lagi.
Istri Bukan Manager di Keluarga
Kadang ada yang menyebut istri sebagai seorang manajer keuangan dalam keluarga. Sah-sah saja pendapat itu. Namun bagi saya, sebutan itu kurang tepat.Â
Jika memisalkan sebuah keluarga sebagai sebuah perusahaan, maka posisi istri yang seharusnya adalah direktur keuangan. Bahkan mungkin juga merangkap sebagai general affairs atau beberapa jabatan lainnya sekaligus. Kenapa direktur?
Sederhana. Karena jabatan manajer terlalu rendah untuk seorang istri.Â