Dalam hal perilaku umat dalam ziarah kubur, Wahhabi dan umat Islam lain memiliki persamaan dan perbedaan. Bagi mereka yang meminta atau berdoa kepada ahli kubur, ke dua pihak sama-sama menghukuminya syirik. Namun saat pembahasan sampai pada tawassul dan tabarruk*, keduanya memiliki perbedaan prinsipil dimana Wahhabi mengharamkan sementara banyak umat Islam dalam berbagai mazhab membolehkan.
Hingga kini, perbedaan pemahaman tentang berbagai hal masihlah terasa dan terbukukan dalam banyak tulisan ulama ke dua pihak. Bisa diambil contoh dari kalangan non Wahhabi adalah karya Mafahim Yajib an Tushahhah (diterjemah menjadi Meluruskan Kesalahpahaman) karya ulama Saudi Sayyid Muhamad Alwi al-Maliki (1944-2004), al-Mutasyaddidun Manhajuhum wa Munaqasyatu Ahummi Qadayahum (dialihbahasakan menjadi Menjawab Da’wah Kaum ‘Salafi’) karya ulama Mesir Prof. Dr. Ali Jumah dan ratusan tulisan ulama lain termasuk ulama-ulama Nusantara.
Dan jauh hari sebelumnya, pendiri NU Syekh Hasyim Asyari telah mewanti-wanti umat Islam akan pemikiran 'pendiri' Wahhabi dalam kitabnya yang berbahasa Arab, Risalah Ahlissunnah wal-Jamaah.
NU kini telah berkembang menjadi organisasi massa Islam besar yang memiliki cabang-cabang di luar negeri (Pengurus Cabang Istimewa/PCINU). Bahkan di Afghanistan, para ulama setempat telah membentuk Jam'iyyah Nahdlatul Ulama berkiblat pada NU dan diikuti ulama dari 4 negara lain yakni Libanon, Yunani, Lithuania, dan Rusia.
NU sendiri telah melewati beberapa fase dalam perkembangannya, termasuk saat mundur dari kepesertaan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan memilih untuk membentuk partai politik sendiri. Partai NU mengikuti 2 kali Pemilu yaknibtahun 1955 dan 1971 sebelum mengalami fusi pada tahun 1977 dan melebur dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).Â
NU kembali kepada identitas awalnya sebagai ormas kemasyarakatan pada kisaran 1983. Konsep dasar kembalinya NU ke khittah ditulis oleh KH. Achmad Siddiq dan mendapat sambutan positif dari para peserta Munas NU di tahun itu. Lalu pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo, naskah itu menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah Nahdliyah. Demikian dikutip dari NU Online.
Pasca reformasi, untuk mewadahi aspirasi warga NU, Gus Dur yang juga cucu pendiri NU menginisiasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dalam perjalanannya, PKB diwarnai intrik yang melibatkan Gus Dur dan beberapa fungsionaris PKB dalam waktu yang berbeda. Yakni Matori Abdul Jalil, Alwi Shihab dan Muhaimin Iskandar. Dan diantara ketiganya, Muhaimin Iskandar yang berhasil memenangkan pergumulan melawan pendiri partai.
NU dan Islam Nusantara
Islam Nusantara (IN) menjadi tema dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang. Istilah ini memicu kontroversi karena dalam Islam tidak dikenal sekat geografis sehingga IN dianggap mereduksi keluasan Islam sendiri. Bahkan ada yang berseloroh bahwasanya IN adalah aliran baru yang melenceng dari Islam rahmatan lil alamin.Â
Kontroversi itu membuat NU harus bolak-balik mengklarifikasi bahwa IN sejatinya hanya istilah untuk memberi nama Islam yang sudah berjalan selama ini yang menjadi ciri khas Islam di Nusantara. Dari segi akidah dan fikih, NU tetap berpegang pada mazhab Asy'ariyah yang dirunuskan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asyari (874-936 M) dan bidang fikih berkiblat pada Imam Syafi'i.Â
Terlepas dari hal itu, NU berhasil mengadakan pertemuan tingkat dunia, International Summit Of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) pada 2016 lalu. Salah satu dari 16 poin yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut adalah pandangan tentang tidak adanya pertentangan antara agama dan kebangsaan. Hal ini pula yang dipahami oleh para founding fathers NU sehingga dikenallah adagium Hubbul  Wathan Minal Iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).
Baca juga artikel lainnya :
- Tanggapi "Menjerat Gus Dur", Fuad Bawazier: Sampah!
- Tepis Anggapan Kritis karena Tak Dapat Kursi, Ini Deretan Kritik SAS ke Rejim Jokowi Jilid I
- Di mana Banser Saat Banjir Melanda? Ada Kok!