Islam Nusantara hingga kini masih saja menjadi sebuah polemik. Banyak yang masih saja bersikeras untuk menyelisihi pihak-pihak yang setuju atau setidaknya tak mempermasalahkan terminologi baru itu.Â
Di antara mereka ada yang beralasan bahwa rangkaian diksi itu akan membuat muslim terkotak-kotak karena di dalamnya mengandung unsur kedaerahanan atau kesukuan (nusantara) yang seharusnya tidak dimunculkan. Kata "nusantara" yang menyertai "Islam" dipandang sebagai sebuah narasi kontradiktip karena sifat Islam yang universal dihadapkan pada "nusantara" yang terbatas.
Ada pula yang membahasnya dengan begitu kelirunya, yakni dengan beranggapan bahwa tema Muktamar Nahdlatul Ulama 2015 lalu itu beragenda untuk mencerabut umat Islam dari akidah keislaman itu sendiri. Mereka juga menerjemahkan Islam Nusantara sebagai sebuah upaya untuk memisahkan Islam dan Arab dimana Islam diturunkan. Pemikiran itu diantaranya dilandasi oleh tafsiran atas pernyataan frontliner NU seperti K.H. Said Aqil Siroj yang mengatakan bahwa budaya Nusantara lebih tinggi dari Arab.
Pengasuh Pondok Pesantren al-Tsaqafah, Jagakarsa, Jakarta Selatan itu mengambil beberapa contoh kebiasaan orang Indonesia yang dipandang sebagai kelebihan dibanding dengan adat orang Arab.Â
"Di kita (Indonesia), lagi bertengkar masih panggil mas atau kang. Lewat di depan orang tua masih menunduk. Memberikan sesuatu pakai tangan kiri di Arab biasa, di kita sudah jelek," sebutnya pada acara tasyakuran di gedung PBNU, Kramat, Jakarta Pusat (3/7/2018) sebagaimana diberitakan Detikcom.
Islam Nusantara, Merusak Akidah?Dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun televisi swasta, pakar hadits yang juga mantan imam besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Ya'qub (allahyarham) menyayangkan akan adanya perilaku yang berupaya untuk mengagamakan budaya Arab. Satu contoh yang beliau ketengahkan adalah mengenai cara berpakaian.
Dikenakannya surban oleh nabi adalah sebuah kebiasaan, karena hal itulah yang menjadi keseharian orang-orang Arab. Nabi berpakaian seperti itu karena menyelaraskan dengan adat yang ada di kaumnya. Sehingga tak seyogyanya, hal-hal seperti itu dikaitkan dengan ajaram Islam sebagai akidah.Â
Pemikiran serupa diungkapkan oleh para ulama Wahabi/Salafi Saudi seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz atau Syekh Muhammad Shalih al-Utsaimin. Benar bahwa hadits tentang nabi yang memakai surban adalah sahih, namun tak serta merta kesahihan hadits itu dimaknai sebagai sebuah hukum yang menyatakan bahwa memakai surban memiliki keutamaan dari pakaian lain.
Landasan berpikir seperti itulah yang sejatinya hendak diangkat oleh Islam Nusantara. Lingkup kerja Islam Nusantara pada dasarnya berkutat pada tataran budaya dan tak memunculkan diri sebagai sebuah madzab baru baik fiqih apatah lagi dalam hal akidah.Â
Sehingga jika ada yang berseloroh dengan pernyataan bahwa Islam Nusantara hendak mengindonesiakan semua yang berbau Arab seperti hoax tentang dirubahnya ayat Quran tempo hari maka bisa dipastikan hal itu merupakan hasil dari rekayasa pemikiran pihak yang tak memahami Islam Nusantara.
Mereka Tak Perlu Islam Nusantara untuk Memusuhi NUPenolak Islam Nusantara berasal dari beragam kalangan. Ada dari mereka yang terjebak kepada penafsiran keliru karena tak merujuk pada definisi dari pencetus istilah itu sendiri yakni NU. Sehingga pada gilirannya menimbulkan pernyataan-pernyataan yang jauh panggang dari api.
Ada pula yang bahkan lebih absurd karena mengaitkannya pada sosok Jokowi yang secara lugas memang mendukung Islam moderat ini. Pada kasus ini, pihak di luar NU tak jarang mengaitkan dukungan dari wadah politik warga NU yang secara definitip mendukung Jokowi.Â
Namun ada pula yang tanpa polemik Islam Nusantara pun, golongan itu memang bertempat di posisi yang tak sebarisan dengan NU.
NU, adalah sebuah perkumpulan yang melandaskan diri pada paham Asy'ariyah dalam akidah, Syafi'iyah dalam fiqih dan mengikuti Imam al-Ghazali serta Imam Junayd al-Baghdadi dalam bertasawwuf.
Bagi mereka yang menyebut para pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w. 936 M) sebagai golongan yang sesat, tak perlu tema Islam Nusantara untuk menyerang para pengikut NU.Â
Mereka akan dengan mudah menggolongkan nahdliyyin sebagai kaum yang melestarikan pendapat pengikut Murji'ah yang mengatakan bahwa keimanan adalah masalah akad dalam hati yang tak terpengaruh oleh perilaku yang menyebabkan kekufuran. Meski tuduhan bahwa Imam al-Asy'ari berpendapat seperti itu tak benar adanya, namun stempel Murjiah dalam iman itu tak serta merta memudar.
Tak berbeda dengan golongan yang memaknai ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran sebagaimana dhahirnya. Mereka akan menyematkan stempel muattilah kepada Asya'irah karena melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat yang mensifati Allah.Â
Pun bagi kalangan yang mengatakan tak perlunya bermazhab, NU akan dijadikan sasaran kritik karena pilihannya untuk mengikuti Imam Syafi'i dalam berfiqih.
Dengan tema Islam Nusantara, golongan-golongan di atas dan golongan lain mendapatkan amunisi baru untuk lebih mendiskreditkan para pengikut NU. Dan tema-tema lama seperti perdebatan mengenai ushalli, tahlilan, yasinan, maulid, tawassul, tabarruk sampai dengan qunut subuh dan dzikir berjamaah selepas shalat fardlu menjadi tak terlalu seksi lagi.
Baca juga artikel lainnya :
- Romansa Perlawanan FPI terhadap Pemikiran Wahabi
- Jama'ah Tabligh, Politik Praktis dan Hidangan Satu Nampan
- Kisah Lebaran: Tak Pulang Kampung, Silaturahmi dan Bid'ah Lebaran
- Maaf Pak "Kwik", Anda Keliru..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H