"Silakan, simbol-simbol itu dibangun di selain tempat ibadah. Tapi, haram hukumnya simbol itu ada di dalam masjid karena simbol itu akan membatalkan salat kita dan akan menggugurkan tauhid kita. Betul?" kata dia (ustaz Rahmat Baequni) dijawab "betul" oleh pendukungnya yang hadir.
Masih berkaitan dengan permasalahan yang dimunculkan oleh unsur geometris suspect illuminati di sebuah masjid, namun saya tak akan masuk ke pembahasan tentang batalnya ketauhidan seorang muslim atau keharaman melakukan shalat di dalam mesjid yang memuat lambang seperti itu.Â
Karena mengenai keabsahan shalat, batalnya shalat dengan sebab yang disampaikan oleh ustaz Rahmat Baequni itu tak saya jumpai dalam ringkasan fiqih karya Imam Muhammad bin Qasim al-Ghaziy, Fath al-Qarib yang tersimpan di rak buku. Sehingga tak wajib adanya mengamini apa yang disampaikan pendiri One Ummah itu.
Jangankan baru suspect, shalat di gereja yang jelas-jelas tempat ibadah agama lain saja tetap dianggap sah kok, meski ada yang memakruhkan dan dengan syarat tidak menyengaja meninggalkan masjid untuk sekedar melakukan shalat di sana.
Mengenai perkataan Ustaz Baequni bahwa dia tak hendak menjatuhkan martabat Ridwan Kamil sebagai perancang masjid itu, kita patut percaya sebagai wujud husnuzhan kita terhadapnya. Karena mesti terkesan ngoyoworo (mengada-ada), apa yang disampaikannya hanya bersifat warning kepada muslim lain yang dianggapnya tak paham mengenai masalah itu.Â
Namun sayangnya, hal itu tak serta merta menjamin orang lain yang tak sejalan dengan Kang Emil untuk tak menggunakan opini Baequni sebagai bahan untuk menjatuhkan sang arsitek yang kini menjabat sebagai gubernur Jawa Barat itu.
Politik, yang oleh Aristoteles didefinisikan secara ideal sebagai usaha yang di tempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dipelintir oleh sebagian orang menjadi usaha yang ditempuh untuk menumbuhkan antipati atau bahkan kebencian terhadap sesama. Orang-orang semacam itu sengaja berusaha dengan keras untuk membuka dan menelisik keburukan pihak yang berlainan orientasi politik dan sebaliknya, menutup rapat keburukan pihak yang sebarisan dengannya.Â
Orang tak lagi berpikir tentang menjalin kebersamaan dalam perbedaan namun justru memperlebar jurang perbedaan dalam persamaan, baik persamaan agama dan keyakinan, persamaan budaya, persamaan ras dan persamaan-persamaan lainnya.Â