Tur Jihad, begitu nama yang disematkan kepada kegiatan yang akan memberangkatkan puluhan orang ke Jakarta beberapa hari lalu. Menengarai kegiatan itu sebagai kedok aksi 22 Mei di Jakarta, kepolisian bertindak cepat. Polda Jawa Timur segera menggagalkan keberangkatan para peserta tur dan menangkap beberapa orang panitianya.
Menarik Simpati dengan Diksi Agamis
Rencananya, para peserta jihad itu akan diberangkatkan dari Surabaya pada 19 Mei sore dan kembali dari Jakarta pada 23 Mei. Kepada polisi, panitia tur jihad menolak tuduhan memfasilitasi keberangkatan simpatisan aksi 22 Mei. Mereka berkilah bahwa acara tersebut hanya untuk memberangkatkan emak-emak yang ingin berwisata ke Jakarta, berbelanja ke pasar Tanah Abang dan beribadah di Masjid Istiqlal.
Polisi bergeming dan panitia diancam dengan pasal pidana penghasutan. Demikian dijelaskan oleh Kapolda Jawa Timur, Irjen Luki Hermawan, di Mapolda Jawa Timur, Senin (20/5/2019) sebagaimana diberitakan oleh Kompas.
Ketua Barisan Kiai Santri Nahdliyin (BKSN), KH. Solachul Aam Wahib Wahab atau Gus Aam memberi tanggapan terhadap istilah tur jihad tersebut. Sebelumnya cucu pendiri NU, KH. Abdulwahab Chasbullah itu menyatakan dukungannya terhadap aksi 22 Mei dan optimis dapat terhimpun 10.000 massa untuk berangkat ke Jakarta dari Jawa Timur.
Dinyatakannya bahwa penggunaan istilah "jihad" seyogyanya dihindari karena memberikan kesan yang menyeramkan. Dia pun mencontohkan istilah lain yang lebih terkesan damai semisal wisata demokrasi, wisata konstitusi atau wisata kedaulatan rakyat.
Korban Penyalahgunaan Tema Agama
Menjumpai pemberitaan itu, saya teringat hal yang pernah disampaikan oleh dai sejuta umat, KH. Zainuddin MZ dalam sebuah cermahnya yang kerap diperdengarkan melalui speaker-speaker masjid.
Beliau  mengatakan bahwa muslim terbodoh sekalipun akan marah jika agamanya dihina. Saat agama dijadikan sebagai sumber argumentasi oleh siapa pun baik mereka yang suci niat maupun yang ditunggangi tendensi politik misalnya, maka militansi akan terhimpun secepat kilat.
Meski tak sama persis, perkataan tersebut sekilas beririsan makna dengan perkataan seorang filsuf muslim Andalusia, Ibnu Rusyd. Dia berkata bahwa untuk menguasai orang bodoh, hendaklah hal batil dibungkus dengan agama.