Mohon tunggu...
Inovasi

Investor Lari, Bagaimana Nasib Revitalisasi Hutan Kota Malabar?

18 Desember 2016   22:41 Diperbarui: 18 Desember 2016   23:02 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hutan Kota Malabar yang terletak di Jalan Malabar merupakan salah satu kawasan ruang terbuka hijau yang terbilang luas di Kota Malang. Lokasi hutan kota ini cukup strategis, karena tak jauh dari pusat Kota Malang. Sebagai lahan penghijauan yang berlokasi di tengah kota ini, selain sebagai paru-paru kota Malang, Hutan Kota Malabar ini sebenarnya dapat juga dijadikan sebagai alternatif tempat rekreasi yang murah. Di samping tujuan utama untuk penghijauan, dengan memperhatikan kesempatan sebagai pendapatan pariwisata, Pemerintah Kota Malang berencana melakukan revitalisasi Hutan Kota Malabar.

Sangat disayangkan, ternyata rencana yang dianggap bisa membawa perubahan menuju kebaikan ini tidak berjalan dengan mulus. Para aktivis lingkungan mengkaji dan menganalisis rencana revitalitasi ini. Para aktivis berkali-kali memprotes dan berharap revitalisasi ini bisa dihentikan sebelum berdampak lebih buruk lagi terhadap lingkungan. Memang, rencana revitalisasi ini menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat awam dan pemerhati lingkungan. Para aktivis tidak menginginkan hutan kota dijadikan pariwisata karena pada dasarnya hutan kota dibangun hanya murni untuk kebaikan lingkungan semata. Sedangkan dari pihak pemerintah kota ingin menambah pemasukan pendapatan dari adanya hutan kota lewat tarikan-tarikan retribusi.

Perdebatan mengenai revitalisasi ini ternyata terdengar hingga ke telinga pihak-pihak luar. Karena adanya perdebatan mengenai revitalisasi ini, investor yang tadinya hendak menyalurkan dananya sebesar Rp2,5 milliar untuk proyek ini, mempertimbangkan kembali pendanaan ini. Pada akhirnya mengundurkan diri untuk membiayai program revitalisasi ini. Padahal pihak Pemerintah Kota telah membuat masterplanproyek ini. Akibatnya, reviltalisasi tidak dapat dilanjutkan karena tidak ada pendanaan.

Pemerintah Kota Malang dan PT. Amerta Indah Otsuka, selaku penyalur dana CSR untuk revitalisasi Hutan Kota Malabar, pada awalnya hendak menjalin perjanjian kerja sama selama 5 tahun. PT. Amerta Indah Otsuka merupakan perusahaan satu-satunya dari pihak luar yang diperbolehkan menyelenggarakan kegiatan di dalam hutan kota. Perusahaan dikenai kewajiban merawat pascapembangunan selama 3–6 bulan. Pembiayaan ini merupakan pembiayaan yang bersifat non konvensional yang berasal dari hubungan kerja sama antar stakeholderyakni pemerintah kota dan pihak swasta. Strategi implementasi sumber pembiayaan yang cocok dalam kasus ini merupakan Konsep BOT (Build, Operate, Transfer).

BOT adalah sistem pembiayaan (biasanya diterapkan proyek pemerintah) berskala besar yang dalam studi kelayakan pengadaan barang dan peralatan, pembiayaan dan pembangunan serta pengoperasiannya, sekaligus juga penerimaan atau pendapatan yang timbul darinya diserahkan kepada pihak lain (pihak bukan pemerintah) dalam jangka waktu tertentu diberi hak untuk mengoperasikan, memeliharanya serta untuk mengambil manfaat ekonominya guna menutup sebagai ganti biaya pembangunan proyek yang bersangkutan dan memperoleh keuntungan yang diharapkan. Setelah jangka waktu operasional berakhir, investor wajib mengembalikan tanah kepada pemiliknya beserta bangunan komersial di atasnya. Pemerintah yang harus kembali melakukan perawatan secara mandiri.

Setelah dihitung, bisa disimpulkan bahwa setelah CSR dilimpahkan kembali ke pemerintah, pemerintah menanggung biaya yang cukup banyak untuk pengadaan dan penyediaan fasilitas selanjutnya. Dimungkinkan Pemerintah Kota Malang lemah dalam perencanaan kerjasama melalui dana CSR ini. Sehingga di kemudian hari setelah diserahkan malah menimbulkan cost bagi APBD. Untuk itu perlu diantisipasi utamanya revitalisasi Hutan Kota Malabar agar tidak menimbulkan inefisiensi anggaran pemerintah.

Rekomendasi sumber pembiayaan inkonvensional yang bisa dilakukan adalah debt financingdan join ventura. Debt financingdilakukan dengan pembangunan prasarana terhadap developer yang ditentukan berdasarkan negosiasi/perjanjian antara developer dengan institusi yang mewakili aktifitas masyarakat, sementara peran pemerintah dalam hal ini adalah menjembatani antara organisasi pendukung dengan perusahaan-perusahaan/developer yang mungkin memberikan intensif biaya, karena dalam hal ini pemerintah memliki akses ke developer. Join Venturadilakukan dengan pengelolaan bersama-sama terhadap objek dengan memadukan keunggulan yang dimiliki oleh swasta dan masyarakat secara seimbang. Masyarakat memiliki potensi mempertahankan keberadaan Hutan Kota Malabar, sedangkan pihak swasta memiliki biaya untuk pembangunaan & operasional, atau dibagi dengan pemerintah kota. Pihak swasta mendapat keuntungan berupa promosional dan branding serta penerapan Corporate Social Responsibility.

Sumber pendanaan revitalisasi ini bisa didapatkan dari sumber pembiayaan konvensional, contohnya penarikan retribusi dari pengunjungnya, yaitu dari tarif parkir. Sumber pendanaan bisa juga dari hutang, hutang kepada pemerintah pusat/daerah dengan kewajiban pengembalian pada jangka waktu tertentu. Alternatif terakhir adalah APBD. Wali Kota Malang menyebutkan bahwa program ini sebenarnya tidak bisa menggunakan APBD karena APBD khusus untuk kesejahteraan masyarakat. Kalaupun tidak bisa mencari sumber pendanaan lain dan masyarakat mendesak agar melanjutkan revitalisasi, maka Pemkot Malang terpaksa menganggarkan di APBD 2016.

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun